brave
“BRAVE” (L-R) LORD MACINTOSH and his son, YOUNG MACINTOSH; MERIDA, WEE DINGWALL and his father, LORD DINGWALL; LORD MacGUFFIN and his son, YOUNG MacGUFFIN; QUEEN ELINOR and KING FERGUS. ©2011 Disney/Pixar. All Rights Reserved.
22 Juni 2012
Melalui Brave, Pixar mencoba sesuatu yang baru menggunakan sineas wanita sehingga tampak sekali sentuhan feminin dalam kisah filmnya kali ini. Ini juga adalah kali pertama Pixar memproduksi kisah dongeng – fantasi dengan tokoh utama seorang wanita. Alkisah Merida adalah seorang putri yang sangat mahir memanah hasil didikan, sang ayah, Fergus. Sesuai tradisi Merida harus menikah dengan para pangeran dari klan-klan dibawah kekuasaan ayahnya. Merida menolak tapi Elinor, sang ibu memaksanya dengan keras. Merida akhirnya lari dari istana lalu bertemu dengan seseorang penyihir, dan ia memintanya agar merubah sikap ibunya. Sihir ternyata berhasil namun hasilnya sungguh diluar dugaan Merida.
Berbeda dengan tema film-film Pixar sebelumnya yang mengutamakan persahabatan dan team works, kali ini mengangkat hubungan personal antara putri dan ibunya. Mereka masing-masing belajar lebih memahami satu sama lain melalui serangkaian petualangan yang terjadi. Juga tidak seperti film-film Pixar sebelumnya, peralihan babak awal ke babak kedua (bermulanya konflik) terjadi cukup lama. Hingga sekitar setengah jam durasi, cerita masih menggantung dan menjenuhkan, namun setelahnya penuh dengan kejutan. Cerita mengalir tanpa henti hingga klimaks menjadikan Bravesebuah petualangan menonton yang menghibur, hangat, penuh dengan kelucuan, serta menyentuh.
Bicara soal pencapaian visual rasanya Brave adalah yang terbaik diantara film-film Pixar lainnya. Gambar terlihat sangat halus hingga bulu beruang pun terlihat begitu nyata. Sajian gambar yang begitu fantastis juga didukung oleh ilustrasi musik serta lagu-lagu berirama pop yang begitu pas mengiringi beberapa adegannya. Adegan-adegan aksi memang tidak seatraktif film-film Pixar sebelumnya yang penuh dengan aksi-kejar mengejar seru namun kali ini cukup menghibur mengalir sesuai tuntutan cerita. Toh, kualitas gambar yang sangat memukau dengan gerak kamera yang dinamis telah sangat menghibur kita sejak awal.
Brave adalah sebuah percobaan baru bagi Pixar. Sekalipun kisahnya universal untuk segala kalangan namun sentuhan feminin kisahnya membuat Brave sepertinya akan lebih baik diterima dan dipahami oleh penonton wanita (khususnya ibu dan remaja putri). Perjudian menggunakan karakter utama wanita apa juga bisa membawa sukses seperti film-film Pixar sebelumnya. Kisahnya memang menyentuh namun belum bisa menghibur dan menyamai kedalaman tema film-film terbaik Pixar, seperti seri Toy Story, Ratatoille, Wall E, serta Up. Conclusion, it’s a girl and mother film and perhaps it’s the best. (B)
PS: Jangan datang terlambat masuk gedung karena Anda akan melewatkan salah satu film pendek terbaik Pixar, La Luna


Baca ulasan film-film Pixar lainnya di blog ini:
https://montasefilm.com/2000/09/up-another-pixar-masterpiece.html.
https://montasefilm.com/2000/08/dubbing-merusak-segala-keindahan-wall-e.html.
https://montasefilm.com/2000/09/toy-story-3-completing-saga.html.
PENILAIAN KAMI
overall
80 %
Artikel SebelumnyaAbraham Lincoln: Vampire Hunter
Artikel BerikutnyaThe Amazing Spiderman
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.