bring her back

Bring Her Back adalah film horor supernatural garapan duo sineas asal Australia Danny Philippou dan Michael Philippou yang sebelumnya mengarahkan Talk to Me (2022). Film ini dibintangi Billy Barratt, Sora Wong, serta aktris kawakan asal Inggris Sally Hawkins. Film berdurasi 104 menit ini berbujet USD 15 juta, jauh meroket ketimbang film sang sineas sebelumnya yang bermodal < USD 5 juta. Akankah sang sineas mampu melampaui prestasi film mereka sebelumnya yang sukses komersial serta kritik?

Setelah sang ayah tewas mengenaskan, kakak beradik remaja, Andy (Barratt) dan Piper (Wong) diharuskan untuk tinggal sementara di rumah orang tua asuh mereka, yakni Laura (Hawkins). Piper mengalami gangguan penglihatan, sehingga Andy setiap waktu harus mengawasi dan menjaganya. Hubungan mereka amat dekat, padahal sejatinya mereka adalah saudara tiri.

Belum lama tinggal di rumah Laura, Andy merasakan banyak kejanggalan yang selalu berujung menyudutkan dirinya dan menjauhkannya dari Piper. Belum lagi, anak angkat Laura, Oliver, yang selalu bertingkah aneh layaknya memiliki gangguan mental. Tanpa disadari Andy, Laura memiliki niat jahat dengan berbekal kemampuan supernatural untuk memindah jiwa ke raga yang berbeda dan Oliver rupanya bukan seperti yang ia pikir.

Seperti halnya, Talk to Me, lagi-lagi sang sineas memilih tema “kerasukan” walau kali ini dalam level yang berbeda. Tema memindah raga memang bukan hal baru, namun yang segar adalah kini memadukannya dengan isu trauma dan ikatan keluarga. Secara brilian, naskahnya mengolah dua sosok protagonisnya yang bermasalah dengan hadirnya sang antagonis “evil mother” dengan dualitas perannya. Emosi penonton serasa diaduk-aduk melihat sosok Laura yang terlihat berbeda di mata Andy dan Piper. Kelokan alur kisahnya rasanya sulit diantisipasi para penikmat horor.

Alur plotnya berjalan relatif lambat dalam membangun eksposisi sang antagonis dengan intens melalui sisi misteri. Rekaman video menjadi kunci info penting yang menyentil motif yang tidak disajikan gamblang. Siapa dan apa yang terjadi dalam rekaman video? Bagaimana Laura bisa terjebak dalam situasi ini? Apa yang sesungguhnya terjadi dengan Oliver? Apa sesungguhnya garis putih yang melingkari seputar rumah? Penonton bisa jadi bakal kehilangan arah karena petunjuk yang secuil. Naskahnya tidak banyak memberi informasi jelas, layaknya Talk to Me dan asal usul “tangan” terkutuk. Namun, ini yang membuatnya begitu brilian.

Baca Juga  Daybreakers

Seperti halnya Talk to Me, Bring Her Back tidak dibangun dengan jump scare, atmosfir, serta beragam gimmick horor lainnya. Intensitas dibangun melalui relasi antartokohnya. Penampilan para kastingnya adalah salah satu kekuatan terbesarnya yang didominasi penampilan Sally Hawkins yang amat memikat. Hawkins lazim kita temui dalam film drama ringan atau komedi, dan rasanya ini adalah debut horornya. Tak bakal ada satu pun penonton yang menyukai karakter ini karena nature perannya. Dua kakak beradik yang diperankan begitu kuat oleh Barratt dan Wong, memiliki chemistry hangat sekaligus suram yang tak mudah diperankan. Kata intim menyentuh dan personal “grapefruit”, bisa jadi adalah salah satu hal terbaik dalam naskah medium film pada beberapa dekade terakhir.

Bring Her Back melalui tema, penampilan kasting, serta visual yang amat menganggu adalah salah satu horor terbaik dalam beberapa tahun terakhir.  Film ini jelas adalah bukan tontonan awam melalui gambar-gambar “menjijikan” yang bakal membuat mual. Narasinya juga bisa membuka perdebatan panjang tentang asal usul entitas supernaturalnya. Banyak film sesungguhnya telah menyentil hal yang sama, walau kemasannya bisa jadi sarat dengan nuansa lokal, seperti halnya Talk to Me. Bring Her Back bukanlah tontonan mudah yang mampu dicerna secara visual maupun cerita. “Grapefruit” bisa jadi adalah satu jawaban “sinematik” tentang trauma yang selamanya akan terus menghantui kita bahkan jika indera kita pun tak mampu melihat atau mendengar. Bring Her Back adalah satu tontonan horor langka cerdas yang wajib ditonton para penikmat horor sejati.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaFrom the World of John Wick: Ballerina | REVIEW
Artikel BerikutnyaPredator: Killer of Killers | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses