Media sosial atau dunia maya lagi-lagi menjadi masalah serius dalam film kedua arahan Wregas Bhanuteja pasca-Penyalin Cahaya (2021), yakni Budi Pekerti. Melalui skenario garapannya sendiri, film ini diproduksi dalam kolaborasi antara Rekata Studio, Kaninga Pictures, dan Kompas Gramedia. Terdiri dari Sha Ine Febriyanti, Angga Yunanda, Prilly Latuconsina, Dwi Sasono, Omara N. Esteghlal, M.N. Qomaruddin, dan Annisa Hertami yang mengisi peran-peran para tokoh di dalamnya. Dengan catatan Wregas lewat film perdananya dua tahun lalu, bagaimana film ini kemudian?

Kehidupan Bu Preni (Ine Febriyanti) yang sehari-hari mengisi bidang konseling kepada para siswa SMP mendadak terguncang masalah tak berkesudahan, hanya karena kekesalan sesaat yang memicu ketidaksengajaan (luput). Walhasil, setidaknya dua dunianya terkena dampak. Tita (Prilly) dan Muklas (Angga), anak-anaknya, serta pihak sekolah tempatnya bekerja. Bu Preni susah payah berusaha memperbaiki namanya dan menjelaskan kesalahpahaman, termasuk melalui media sosial. Namun, sisi negatif media sosial justru lebih sering memperkeruh situasi dan kian menyudutkan posisi serta daya tawarnya. Padahal, mula-mula hanya berangkat dari pembelian jajanan pasar belaka.

Pendekatan realitas sesuai kondisi di dunia nyata terkadang mengusik intensitas drama dalam sebuah film drama. Eskalasi dramatis Budi Pekerti beberapa kali goyah karena diselipi komedi tak tepat tempat. Bila bicara soal film drama. Memang masih mengandung keharuan, kesedihan, maupun unsur emosional lainnya. Namun, muatannya sukar terasa mendalam gara-gara pengadeganan yang ditujukan sebagai lelucon ringan.

Pun demikian Budi Pekerti dan masalah dalam keluarganya yang kemudian melahirkan drama adalah perkara komunikasi. Walau sebagai plot sampingan. Persoalan yang pada akhirnya bakal mendamaikan satu sama lain dalam keluarga tersebut. Oleh karenanya tak terhindarkan dari dugaan adegan atau situasi berikutnya yang berujung kebenaran, sesekali.

Kendati terdapat beberapa logika yang luput dan terabaikan oleh sang sineas (yang sekaligus pula menulis). Misalnya, logika waktu dan kepemilikan gawai dengan teknologi kamera depan saat Gora masih SMP, baik oleh teman-teman di kelasnya maupun oleh Bu Prani. Ada lebih dari satu alumnus dengan pekerjaan bersinggungan dengan hukum (termasuk lawyer), tetapi tak seorang pun tetap berdiri di samping Bu Prani hingga akhir? Ke mana pula para alumnus lainnya selain Uli dan orang-orang hukum tersebut?

Baca Juga  Mata Tertutup

Budi Pekerti nyatanya terasa lebih ringan dan manusiawi ketimbang Penyalin Cahaya, baik dari segi penceritaan maupun visual. Meski pada saat yang sama, sesekali memunculkan clue. Melalui warna kain yang menjadi latar belakang pengambilan video misalnya. Sorotan khusus terhadap ekspresi pada muka dalam beberapa situasi juga yang tak jarang mendukung pengadeganannya.

Bicara ihwal mengomparasi dengan Penyalin Cahaya, ada tak kurang dari lima kesamaan antara Budi Pekerti dengan film tersebut. Media sosial yang mendatangkan masalah dan racun alih-alih solusi, viral karena ketidaksengajaan yang manusiawi, video klarifikasi, problematika terkait nama baik sekolah atau lembaga tertentu, dan adanya “perlawanan”. Di antara kedua film tersebut, ada Like & Share (2022) dan Dear David (2023) yang juga memuat hampir semuanya.

Begitu pula variasi karakter yang mesti dimainkan Prilly dan Dwi Sasono tak berwarna bila dibandingkan dengan peran-peran mereka selama ini, atau tahun-tahun belakangan ini setidaknya. Prilly dengan karakter beremosi negatif dan dramatisnya (yang sesekali menunjukkan kedewasaan singkat), seperti dalam Kukira Kau Rumah (2021), Ketika Berhenti di Sini (2023), bahkan ketiga film Danur (2017, 2018, 2019). Menaikkan namanya daripada film-film komedi romantisnya. Sementara itu, Dwi Sasono semacam “terikat” pula dengan peran-peran pendukung dalam apa pun genrenya, sebutlah Losmen Melati (2023), Jailangkung: Sandekala (2022), Mencuri Raden Saleh (2022), Sabar Ini Ujian (2020), Dua Garis Biru (2019), dan masih banyak lagi. Perubahan emosi justru lebih kentara dari tokoh Muklas yang diperankan Angga. Di samping Ine Febriyanti yang jarang mendapat kesempatan bermain dalam layar lebar.

Budi Pekerti lebih nyaman dinikmati ketimbang arahan sang sineas sebelumnya, meski pada saat yang sama mengandung sejumlah kemiripan. Muatan visualnya tidak muluk-muluk dan seintens Penyalin Cahaya. Hampir seperti yang terjadi dalam penyutradaraan Bene Dion setelah Ngeri-Ngeri Sedap (2022) lalu ke Ganjil Genap (2023). Walau sejak kemunculan Wregas lewat film panjang debutnya belum cukup digunakan untuk mengukur perkembangannya.

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaThe Royal Hotel
Artikel BerikutnyaMoving
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.