Buffalo Boys (2018)
102 min|Action, Drama, History|19 Jul 2018
5.8Rating: 5.8 / 10 from 1,295 usersMetascore: 48
Two brothers named Jamar and Suwo came back to the land of Java to avenge their father, who was a Sultan, after years of exile in America.

Buffalo Boys adalah film aksi-western-sejarah yang digarap oleh Mike Wiluan. Wiluan adalah kita kenal produser film-film, seperti Beyond Skyline, Headshot, serta Hitman: Agent 47. Film ini adalah sebuah proyek ambisius dengan bujet 30 miliar yang diproduksi Infinite Studios, Zhao Wei Films, dan Screenplay Infinite Films . Film ini dibintangi oleh Ario Bayu, Yoshi Sudarso, Pevita Pearce, Mikha Tambayong, serta Tio Pakusadewo. Film ini juga telah diputar di ajang festival bergengsi di Fantasia International Film Festival di Montreal, Kanada, dan bahkan tak luput dari ulasan kritikus lokal.

Alkisah pada abad 19, dua pangeran kerajaan antah berantah di Jawa dibesarkan di Amerika oleh paman mereka, Arana. Hidup di lingkungan yang keras menjadikan mereka tumbuh menjadi dua pemuda cowboy yang tangguh. Setelah sekian lama, Arana akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman mereka di Jawa. Namun, situasi yang terjadi di Jawa, ternyata sama persis dengan sewaktu ia meninggalkannya. Belanda masih menjajah wilayah Jawa serta rakyat hidup dalam penderitaan, dan  musuh besar mereka, Van Trach dan anteknya, menghadang mereka.

Salut rasanya, sebuah film kita mampu dan berani mencoba sesuatu yang baru dengan biaya produksi yang amat besar. Nyaris semua aspek teknisnya disajikan begitu mapan untuk standar industri film kita sehingga serasa menonton film produksi barat. Setting, kostum, make-up, aspek sinematografi, serta editing semua disajikan baik. Adegan aksi khas western, seperti perkelahian di bar, duel senjata, hingga aksi menunggang kerbau, digarap serius dan amat menghibur. Adegan perkelahian dalam ruangan pada segmen klimaks membuat saya sangat terkesan sekali, terutama sisi editing-nya, bak menonton film aksi barat yang mapan. Jarang, saya melihat pencapaian seperti ini dalam film-film kita.

Baca Juga  Buffalo Boys: Perwakilan Imajinasi Bangsa Imajiner

Namanya juga film fiksi dengan kombinasi unik genre macam ini, tentu kita tak perlu berdebat soal keakuratan sejarah. Ini di wilayah dan kerajaan mana? Kok bisa ada candi di kerajaan semuda ini? Tak perlu dibincangkan karena film ini memang tidak mengarah ke sana.

Namun, tentu kita bisa bicara soal naskah dan cerita filmnya. Satu hal yang paling mengganjal dalam filmnya adalah dialog. Penggunaan bahasa Indonesia dalam film ini membuat segalanya terasa kaku dan tak wajar. Bahasa Indonesia dan Inggris (bukannya seharusnya bahasa Belanda ya?) yang sering kali digunakan pun adalah gaya dialog masa kini. Bahkan semua dialognya terasa seperti bahasa Inggris yang di-Indonesiakan. Sering kali saya tertawa geli, bukan karena adegan aksi atau komedinya, namun dialog yang disajikan. Do you thinking what I am thinking? Tak apalah, mau gimana lagi, solusi yang lebih baik pun rasanya sulit dilakukan, misal menggunaan dialek lokal atau bahkan bahasa daerah. Tak menjamin hasilnya bisa lebih baik.

Bicara lubang plot atau logika, duh, mau omong apa lagi? Rumah kita sudah dikepung! Jika terkepung, mestinya ya dari segala arah kan? Jika saja rumahnya sebesar rumah dinas Bupati tentu saya percaya, tapi ini hanya sebesar rumah tipe 36?! Bagaimana bisa lolos tanpa ketahuan. Hal-hal macam ini masih jadi masalah besar dalam eksekusi naskah film kita.

Buffalo Boys adalah satu persilangan genre yang unik dengan segala kematangan teknisnya, namun lagi lagi amat lemah dari sisi naskahnya. Film ini adalah sebuah pencapaian yang berani dilakukan industri film kita. Terobosan seperti ini memang harus sering dilakukan, khususnya untuk memancing perhatian industri film luar. Kita banyak memiliki elemen lokal yang masih bisa kita eksplor lebih jauh. Tentu, kita masih menantikan film-film produksi kita yang harapannya bisa digarap jauh lebih baik.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaSabrina
Artikel BerikutnyaMamma Mia! Here We Go Again
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.