Bulan Terbelah di Langit Amerika (2015)

109 min|Adventure, Drama|17 Dec 2015
5.9Rating: 5.9 / 10 from 264 usersMetascore: N/A
A husband and wife, Hanum and Rangga, are trying to uncover what really happened in 9/11 tragedy from their point of view.

     Ibrahim Hussein yang hilang pada tragedi WTC tahun 2001 diduga terlibat sebagai salah satu teroris atas insiden itu. Sembilan tahun kemudian, Sarah Hussein anaknya yang mulai beranjak dewasa, mencari kebenaran serta keberadaan mengenai ayahnya dengan mengunggah video berisi monolog kegelisahannya yang diunggah ke youtube. Salah satu media menugaskan seorang jurnalisnya, Hanum (Acha Septriasa) untuk mewawancarai istri dan anak Hussein tentang sudut pandang mereka soal Islam untuk membuat artikel berjudul Apakah dunia lebih baik tanpa Islam? Hanum adalah jurnalis asal Indonesia yang bekerja di Amerika bersama suaminya Rangga (Abimana Aryasatya) yang sedang menempuh studi S3-nya. Singkat cerita Rangga yang kebetulan mendapatkan tugas ke New York akhirnya berangkat bersama Hanum dan tinggal di rumah temannya yang juga sama-sama orang Indonesia.

     Isu yang diangkat dalam film ini adalah masalah sentimen terhadap muslim di Amerika pasca tragedi WTC 9/11. Bagi sebagian masyarakat Amerika ada semacam tendensi negatif terhadap orang Islam. Persoalan semakin meruncing ketika ada wacana dibangunnya Masjid dan Muslim Center di area Ground Zero yang merupakan monumen bekas dari gedung WTC dahulu. Dari wacana tersebut menimbulkan pro dan kontra. Nampaknya hal ini yang merupakan relevansi dengan judulnya Bulan Terbelah Dilangit Amerika. Pro kontra inilah yang menjadi background cerita film ini. Namun sayang background cerita yang seharusnya menjadi landasan kuat film ini tidak digali secara maksimal. Pro kontra yang muncul dalam filmnya belum terlalu tampak menjadi isu serius. Jika dalam film ditunjukkan serta digali dengan memperlihatkan tentang masyarakat yang pro dan kontra secara kuat maka akan terbangun tone film yang menggugah dramatik ceritanya. Landasan isu itu akan lebih menantang riset Hanum tentang artikelnya yang berjudul Apakah dunia lebih baik tanpa Islam? yang mempertanyakan eksistensi Islam.

Baca Juga  Lentera Merah, Hantu Takut Hantu

     Perjalanan Hanum dalam risetnya itu seharusnya membawa kita akan pemahaman akan nilai-nilai Islam yang sejati. Namun, konflik-konflik yang muncul tak seberapa kuat sehingga sepanjang film terlihat kurang fokus pada background isu cerita yang sebenarnya menarik. Konflik di awal cerita yang terlihat dalam adegan hilangnya map kuning milik Hanum yang berisi data mengenai risetnya tak seberapa kuat membawa pada esensi cerita filmnya. Hal itu terjadi karena konflik-konflik yang berkembang setelahnya hanya berkutat pada persoalan konflik pribadi antara Hanum dan Rangga dan seberapa pentingnya map itu tak begitu nampak di filmnya. Alur cerita memang berjalan dengan tempo yang cepat namun intensitas dramatik yang dibangun masih terlihat datar.

      Di luar ceritanya yang kurang digali lebih dalam, secara teknis film ini terlihat mapan. Setting lokasi di New York dan pemainnya hampir setengahnya orang barat serta menampilkan budaya budaya barat membawa tone filmnya seperti kita menonton film Hollywood. Film yang diadaptasi dari novel ini mempunyai genre religi roman. Genre ini mulai populer sejak film Ayat-Ayat Cinta menjadi box office pada tahun 2009. Munculnya genre ini menjadi formula baru bagi perfilman Indonesia untuk menggaet para penonton yang mayoritas masyarakat kita yang muslim. Genre ini hingga kini masih terus berkembang dalam perfilman nasional. Namun alangkah baiknya diimbangi pula dengan cerita-cerita yang seharusnya digali lebih dalam sehingga menghasilkan film yang berkualitas serta mendidik masyarakat kita.

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaStarWars Pecahkan Semua Rekor Box Office!
Artikel BerikutnyaAlasan Star Wars: The Force Awakens adalah Sekuel yang Buruk
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.