Indonesia punya banyak tokoh sejarah sepanjang era perjuangan kemerdekaan. Tokoh-tokoh yang aktif dalam pergerakan sejak tahun 1930-an sampai 1950-an, hingga diabadikan ke dalam film. Termasuk sosok Buya Hamka dalam Buya Hamka. Fajar Bustomi mengarahkan drama biografi seputar kisah hidup beliau dengan naskah garapan Alim Sudio (Kembang Api/2023, Perfect Strangers/2022, Layla Majnun/2021) dan Cassandra Massardi. Tak tanggung-tanggung, produksi film ini bukan hanya dilakukan oleh Falcon Pictures dan StarVision Plus, tetapi juga melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Buya Hamka dibintangi oleh Vino G. Bastian, Laudya Cynthia Bella, Desy Ratnasari, Donny Damara, dan Marthino Lio.
Hampir semua nama dan pihak yang terlibat di atas cukup dapat kita percayai dalam pembuatan keseluruhan Buya Hamka. Meski bagian penulis naskahnya cukup menggelitik, karena di samping Alim Sudio dengan rekam jejaknya yang baik, ada Cassandra Massardi. Jadi kita lihat saja seperti apa hasilnya.
Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal bernama pena HAMKA (Vino) adalah penulis ulung yang mengajar di sekolah Muhammadiyah di Makassar pada tahun 1933. Setelah beberapa waktu turut mengurus organisasi Muhammadiyah di sana, dia akhirnya memboyong keluarganya untuk menyambut panggilan dari Medan dan memimpin Majalah Pedoman Masyarakat. Namun, jalan terjal ada di mana-mana bagi para penulis dan orator yang menjadi pilar-pilar pergerakan pada masa tersebut. Tak terkecuali bagi seorang Buya Hamka.
Buya Hamka adalah salah seorang tokoh paling berpengaruh dari tanah Minangkabau, Sumatra Barat, dalam memperjuangkan kedaulatan bangsa melalui payung Muhammadiyah. Tak pelak bila kemudian ada harapan besar terhadap film tentang beliau. Khususnya terhadap Vino yang memerankannya. Terlebih, beliau adalah ulama besar yang andal dalam menulis dan orator ulung. Penjiwaan seorang aktor dalam menunjukkan setiap detail emosi dari tokoh penting yang diperankannya, selalu jadi salah satu sorotan utama di film-film biografi. Vino memang telah memerankan seorang Hamka dengan upaya terbaiknya. Namun, untuk bisa benar-benar meyakinkan penonton bahwa Vino dalam film Buya Hamka adalah Hamka semasa membangun organisasi Muhammadiyah di Sumatra Barat, ternyata kita masih butuh dua volume lagi.
Sebagaimana cerita tentang tokoh dari Minang, maka bahasa di sepanjang film pun hampir sepenuhnya menggunakan bahasa Minang. Belum lagi latar waktunya lebih dari setengah abad silam. Jadi yang digunakan pun bahasa Minang dari tempo dulu. Tentu sangat berbeda dibanding bahasa yang sekarang. Cenderung puitis dan sarat pengibaratan. Masyarakat Minang generasi sepuh pasti lebih tahu. Meski bahasa yang digunakan sudah sedikit tercampur dengan beberapa kosakata yang kemudian menjadi bahasa Indonesia.
Melihat keterbatasan risetnya, Buya Hamka tampak sudah cukup baik dalam menunjukkan sosok penting seorang Hamka lewat olah peran Vino. Apalagi sebagai penulis kisah-kisah roman terkenal, rutinitas komunikasi suami-istri antara Hamka dan Raham beberapa kali terasa manis. Laudya Bella juga memerankan sosok pendamping dan teman bagi seorang tokoh besar dengan tangguh, teguh, senantiasa ikhlas, dan selalu dapat memahami posisi suaminya. Seorang istri yang juga melipur lara suaminya, saat semua orang melempar fitnah kepada sang suami hanya karena salah paham. Kita tentu masih ingat bentuk serupa tentang harmoni suami-istri yang kurang-lebih sama dalam Habibie & Ainun (2012).
Kendati demikian, volume pertama Buya Hamka sangat kekurangan gambar-gambar luas. Kita terus disuguhkan kesibukan Hamka di meja kerja dengan mesin ketiknya, baik saat di kantor majalah, rumah, dan di banyak tempat lainnya. Sembari beberapa kali memimpin rapat, berdakwah, dan bertemu sejumlah orang. Hanya ada beberapa kesempatan kecil untuk menampilkan Hamka beraktivitas di luar rumah atau kantor, tanpa membahayakan logika waktu melalui bangunan-bangunannya. Masih bisa dimaklumi, walau visualnya terasa sepi. Mari kesampingkan soal para tetangga dan rumah-rumah mereka, karena validitas keberadaan mereka sukar diukur dalam sekali jalan. Sebab yang kita bahas adalah tanah Minang pada masa tersebut, berikut kultur, kondisi masyarakat, serta jumlah penduduk setempat. Semoga dua volume selanjutnya bisa lebih ramai.
Buya Hamka volume pertama bukan sekadar kisah pergerakan salah seorang ulama besar melalui tulisan, tetapi juga manisnya kehadiran Raham yang menjadi kekuatan terbesar bagi Hamka. Meski amat sayang para pembuat film ini tak berhasil menciptakan lanskap Minang dan Makassar pada masa itu dengan visual lebih luas. Satu sisi memang dapat terus menjaga kedekatan penonton dengan Hamka. Namun di sisi lain, terkadang ada rasa jenuh karena walau Hamka berpindah-pindah beberapa kali, kita langsung memasuki bangunan. Ketika ada kesempatan untuk menampilkan area sekitar rumah, rupanya agak terlihat tak nyata. Bagus, dramatis, hangat, dan mengagumkan, tetapi masih tanggung. Mari kita tunggu dua volume berikutnya.