Captain Marvel (2019)
123 min|Action, Adventure, Sci-Fi|08 Mar 2019
6.8Rating: 6.8 / 10 from 625,096 usersMetascore: 64
Carol Danvers becomes one of the universe's most powerful heroes when Earth is caught in the middle of a galactic war between two alien races.

Captain Marvel adalah film superhero solo yang sekaligus juga film ke-21 dari Marvel Cinematic Universe (MCU). Film ini digarap oleh duo sineas, Anna Boden dan Ryan Fleck, dengan tentu diproduseri bos Marvel Studios, Kevin Feigi. Film ini dibintangi oleh Brie Larson, Jude Law, Annete Bening, Ben Mendelsohn dengan beberapa bintang reguler MCU, yakni Samuel Jackson dan Clark Gregg. Film berbujet US$ 152 juta ini tercatat adalah film superhero solo perempuan pertama yang dirilis MCU. Apakah Captain Marvel bisa melebihi sukses dari Wonder Woman secara komersial atau kualitas?

Vers adalah satu anggota dari Starforce yang merupakan penjaga kedamaian galaksi yang berpusat di Planet Kree. Serangkaian mimpi menganggunya karena ia memang sama sekali tidak bisa mengingat masa lalunya. Dalam satu misi penyelamatan, sebuah peristiwa justru malah membawanya ke sebuah planet yang ternyata adalah bagian dari masa lalunya, yakni C-53 alias bumi.

Dari film sebelumnya, Avengers: Infinity War, kita tahu persis jika Nick Fury meminta bantuan pada sosok misterius di penghujung film. Kita tahu sosok tersebut adalah Captain Marvel, dan film ini merupakan latar kisah sang jagoan perempuan yang maha hebat ini. Setting waktunya berada di era 1995-an yang nyaris mendahului semua peristiwa yang ada di plot MCU sebelumnya, kecuali tentu Captain America: The First Avenger. Ini tentu membawa pertanyaan besar bagi para penikmat MCU. Bagaimana mungkin superhero sekuat ini tidak terlibat dalam semua peristiwa besar, seperti tragedi New York, Ultron, serta kekacauan besar lainnya di bumi. Lantas mengapa sekarang? Plot filmnya bisa menjawab semuanya ini tanpa terlihat memaksa. Sisi teknis, strategi produksi Marvel Studios tentu bukan hal yang mau kita bahas di sini, namun sisi cerita dan estetiknya.

Baca Juga  Happiest Season

Tentu saja, semua peristiwa yang sudah terjadi dalam MCU tidak dapat diubah. Plot Captain Marvel semata hanya mengisi gap kosong dalam latar waktu cerita sebelumnya. Semudah itukah? Untuk membuat kisahnya menjadi berkelas dengan sisi drama yang menyentuh, penokohan yang cukup, serta sisipan humor, aksi, dan segala belenggu narasi MCU tentu bukan hal yang mudah, namun Captain Marvel mampu mengatasinya dengan sangat baik. Kita bisa dibuat peduli dengan sosok jagoan perempuan ini yang dimainkan sangat baik oleh Brie Larson. Berkat Larson, Captain Marvel adalah sosok superhero paling cool di antara superhero MCU lainnya.

Bicara soal pencapaian CGI, tak ada yang lebih istimewa daripada rekayasa wajah Nick Fury dan agen Phil Coulson yang diperankan Sam Jackson dan Clark Gregg. Hal ini sebelumnya sudah pernah dilakukan beberapa kali secara brilian, seperti dalam Tron Legacy (Jeff Bridges) atau Ant-Man and the Wasp (Michael Douglas & Michele Pfeiffer), namun kali ini sosok Nick Fury dominan dalam filmnya. Menonton sosok Fury, seperti menonton sosok Sam Jackson di era 1990-an, tentu minus gaya bicaranya yang kasar dan sering menyumpah. Mungkin setelah ini, pencapaian CGI bakal mampu menghidupkan bintang-bintang era klasik, macam Humprey Bogart, James Stewart, John Wayne, hingga James Dean. Siapa tahu? Sedikit melantur.

Dengan segala pesonanya, Captain Marvel adalah film yang amat menghibur, khususnya para fans MCU, sekaligus sebagai penyambung cerita Avengers: End Game kelak. Setting cerita tahun 1995 dengan segala atribut dan nostalgianya, tentu membawa nuansa tersendiri bagi penonton yang memiliki masa-masa emas di era ini. Lagu dan musik era 1990-an mampu menghidupkan beberapa adegan dalam filmnya. Captain Marvel jelas bukan film terbaik dalam MCU dan tentu juga bukan genrenya, namun sosok Captain Marvel adalah salah satu sosok superhero paling keren dalam medium film. Seperti sudah menjadi tradisi film-film MCU, mid-credit dan post-credit scene jangan dilewatkan! Satu di antaranya dijamin bakal mengejutkan penikmat MCU.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaAnna and the Apocalypse
Artikel BerikutnyaDapatkan Buku 30 Film Indonesia Terlaris 2002 – 2018!
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.