Kapan terakhir film aksi thriller menggunakan tipe plot Die Hard yang memiliki sisi ketegangan maksimal? Carry-On adalah film garapan Jaume Collet-Serra yang kita kenal sebagai spesialis thriller berkelas, macam Nonstop dan The Commuter. Film rilisan Netflix ini dibintangi oleh Tager Edgerton, Jason bateman, Sofia Carson, serta Danielle Deadwyler. Melalui sentuhan emas sang sineas, akankah film ini mampu memberikan sajian thriller berkelas seperti karya sebelumnya?

Ethan Kopek (Edgerton) adalah seorang petugas sekuriti bandara (homeland security) yang bekerja untuk pemerintah. Ia dan istrinya yang tengah hamil, Nora, sama-sama bekerja di bandara. Suatu ketika, Ethan mendapat ancaman dari pihak teroris tak dikenal agar ia meloloskan satu tas koper berisi bom. Jika menolak, sang istri akan langsung dieksekusi. Bermodal instingnya yang tajam dan di bawah tekanan luar biasa, Ethan mencoba berupaya keras untuk menyelamatkan istri dan semua orang di bandara penumpang dari ancaman bahaya besar.

Seperti titelnya, Carry-On tampak tidak cukup meyakinkan. Namun seiring waktu, setelah plot berpindah ke babak kedua, intensitas ketegangan justru semakin menguat sepanjang waktu. Plotnya banyak mengingatkan pada Die Hard 2 (1990) yang sama-sama mengambil lokasi di bandara. Bedanya, cara kelompok teroris bekerja kini lebih diam-diam dan hanya dilakukan segelintir orang, namun efeknya sama dahsyatnya. Untuk sisi ketegangan kisahnya, boleh saya katakan Carry-On hanya berada tipis di bawah Die Hard 2.

Bersama naskahnya yang relatif solid, set lokasi bandara adalah kekuatan terbesar filmnya. Mirip Die Hard 2, nyaris semua pelosok bandara dieksplorasi, dari ruang hal bandara, ruang cek barang, kantor, ruang distribusi barang/bagasi, lorong-lorong bandara, jalur landasan pesawat, bahkan hingga ruang kabin dan bagasi pesawat. Set otentik ini yang membuat kisahnya begitu meyakinkan dengan ditopang pula ratusan figurannya (pengunjung). Untuk film level streaming, tentu ini adalah satu pencapaian estetik di luar ekspektasi.

Baca Juga  Ice Age 3

Satu lagi yang mengejutkan tentu adalah kastingnya. Bukan Tager Edgerton, namun adalah Jason Bateman yang kita tahu lebih sering bermain dalam film drama dan komedi. Bateman rupanya mampu bermain meyakinkan sebagai antagonis yang bengis dan dingin, walau tentu penonton terasa janggal karena banyak peran protagonis “innocent”-nya selama ini. Sementara Edgerton, walau tak bermain buruk, bukanlah sosok karismatik macam Bruce Willis yang mampu memerankan sempurna sosok detektif ikonik, John McClane yang bengal dan tak suka aturan.

Carry-On boleh jadi bukan aksi-thriller terbaik, namun untuk tontonan nonbioskop, bisa dibilang adalah salah satu yang paling menghibur sejak Die Hard 2. Bagi fans fanatik Die Hard (bukan sekuel-sekuelnya), saya sesungguhnya berharap lebih, namun capaian cerita dan estetiknya sudah cukup untuk memberi kepuasaan dan sisi nostalgia film-film aksi senada pada era 1990-an, macam Under Siege, Speed, Pasenger 57, hingga Executive Decision. Entah kapan, pencapaian selevel Die Hard bakal terlewati. Jaume Collet-Serra rasanya punya potensi untuk melakukan ini.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaThe Lord of the Rings: The War of the Rohirrim
Artikel BerikutnyaRacun Sangga: Santet Pemisah Rumah Tangga
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.