Child's Play (2019)
90 min|Drama, Horror, Sci-Fi|21 Jun 2019
5.7Rating: 5.7 / 10 from 56,083 usersMetascore: 48
A mother gives her 13-year-old son a toy doll for his birthday, unaware of its more sinister nature.

Seri Chucky yang populer sejak era 80-an dengan total 7 filmnya hingga serial televisinya, kini di-reboot dengan judul sama, Child’s Play. Film berbujet US$ 10 juta ini diarahkan oleh Lars Klevberg dengan dibintangi oleh Aubrey Plaza, Gabriel Bateman, Brian Tyree, serta Mark Hamill sebagai pengisi suara Chucky. Mampukan reboot-nya ini memberikan sesuatu yang baru untuk serinya?

Alkisah seorang bocah bernama Andy tinggal bersama ibunya yang telah berpisah dengan ayahnya. Suatu ketika, sang ibu memberikan sebuah boneka mainan canggih populer yang bernama Buddi, produksi perusahaan Kaslan. Buddi dimaksudkan tidak hanya sebagai mainan, namun juga mampu mengontrol semua peralatan rumah tangga produksi Kaslan. Tetapi selang beberapa hari, Andy menyadari keanehan pada bonekanya karena banyak melakukan pelanggaran protokoler dari pabriknya.

Untuk serinya, jelas film reboot-nya ini banyak melakukan penyegaran serinya hingga genrenya. Filmnya kini menghilangkan sisi supernatural dan menggantinya dengan unsur fiksi ilmiah. Boneka Chucky yang dulu bisa hidup karena dirasuk oleh seorang dukun penganut ilmu hitam, kini digantikan dengan chipset berteknologi canggih yang membuat sang boneka bisa bergerak dan merespon layaknya manusia. Kita sama-sama tahu, plot robot AI yang lepas kendali dan mengamuk sudah bukan barang baru dalam film. Dengan kombinasi fiksi ilmiah, horor, slasher, Chucky robot ini masih jauh di bawah rata-rata film subgenrenya dan bahkan serinya sendiri. It’s too much.

Satu hal yang paling mengganjal dalam film ini adalah logika kisahnya. Seberapa cerdas sebenarnya boneka ini dan seberapa jauh protokol yang bisa dilanggar? Mengapa pula pabrik mainan anak-anak membuat sebuah produk yang bisa berpotensi membahayakan nyawa manusia? Mampukah sang robot berpikir sedemikan jauh untuk merancang sebuah skema pembunuhan yang begitu rumit? Begitu cerdasnya sang robot hingga ia bisa membuat skenario untuk memojokkan Andy? Sebegitu cepatkah ia bisa bergerak? Semua ini tak bisa terjawab secara pasti dalam kisahnya. Satu hal saja, jika teknologi secanggih ini sudah bisa dicapai, apakah satu pabrikan modern akan membuatnya melalui desain boneka yang seburuk ini? Tidakkah terpikir bentuk robot modern atau mungkin wujud manusia yang lebih realistik. Ya tentu kita sudah tahu jawabnya karena ini adalah seri Chucky. Namun, tidak adakah solusi yang lebih bisa dinalar dan tidak memaksa? Satu hal ini saja, sudah membuat sulit untuk bisa masuk dalam kisahnya. It’s way too much.

Sisi fiksi ilmiah membuat tone filmnya sangat berbeda dengan sebelumnya dengan nuansa mistik kental yang menjadi kekuatan serinya. Ketika dulu Chucky muncul, kita tahu bahwa ada iblis di dalamnya, dan motif mengapa ia mengincar Andy adalah jelas untuk mengambil raganya. Ancaman begitu tegas dan nyata. Kini motifnya jelas berbeda dan keberadaan Chucky tidak lagi terasa menakutkan. Sisi horor hanya mengandalkan jump scare konvensional dengan menambah unsur sadisme dalam aksi-aksinya. Sosok fisik Chucky pun sudah tidak lagi menakutkan seperti dulu sehingga greget sosoknya berkurang.

Baca Juga  Thor: Ragnarok

Child’s Play menghilangkan semua apa yang menjadi keunikan dan jiwa ikon boneka Iblis Chucky melalui transisi genre serta naskah yang absurd. Para pemainnya yang sudah bermain baik, khususnya Aubrey Plaza (sang ibu) dan Gabriel Bateman (Andy), tidak banyak menolong filmnya. Suara Mark Hamill (aktor pemeran Luke Skywalker) sebagai Chucky, jelas tak mampu bersaing dengan suara Brad Dourif yang jauh lebih mengintimidasi dengan tawa khasnya. Franchise ini jelas berlanjut jika film reboot ini sukses komersial, namun setidaknya bagi saya seri ini sudah tamat sejak seri ketiga.

PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaYesterday
Artikel BerikutnyaSpider-Man: Far from Home
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.