Civil War adalah film drama perang distopian yang digarap oleh Alex Garland yang menggarap film sci-fi berkelas macam Ex Machina (2014) dan Annihilation (2018). Civil War dibintangi oleh Kirsten Dunst, Wagner Moura, Cailee Spaeny, Stephen McKinley Henderson, Sonoya Mizuno, Nick Offerman, dan Jesse Plemons. Film ini dirilis studio A24, tercatat merupakan produksi film termahalnya yang mencapai USD 50 juta. Dengan bermodal tema unik dan talenta sang sineas, apakah film ini mampu memberikan suntikan segar bagi genrenya?

AS tengah dilanda perang sipil hebat antara Pemerintah AS yang berkuasa dengan pemerintah beberapa negara bagian, salah satunya Western Front (WF), gabungan Texas dan California. Presiden yang berada di Washington DC mendapat tekanan hebat, tinggal menanti waktu sebelum kota tersebut direbut. Fotografer perang kenamaan, Lee Smith (Dunst) bersama dua rekannya, Sammy (Henderson) dan Joel (Moura) berniat untuk mewawancara presiden ke DC melalui perjalanan mobil ratusan mil di tengah perang yang berkecamuk. Mereka juga membawa seorang fotografer muda, Jessie (Spaeny) yang awalnya tidak dikehendaki Lee. Seperti sudah diduga, perjalanan ini bukanlah sesuatu hal yang mudah.

Satu pertanyaan besar tentunya adalah bagaimana ini semua bisa terjadi? Secara cerdik, plotnya tidak memberikan jawaban yang gamblang, melainkan membiarkan penonton menafsirkan dari semua apa yang terlihat dalam perjalanan ini. Jika kamu berharap aksi-aksi heboh, Civil War tidak terfokus pada sisi aksi perang melainkan drama dan sentuhan humanis yang menyertainya. Relasi antarkarakter, khususnya Lee dan Jessie, terjalin sepanjang perjalanan sekaligus memberi pecahan informasi kecil tentang apa yang tengah terjadi. Seperti halnya film-film Road Movies kebanyakan, perjalanan dan petualangan ini yang akan mendewasakan mereka.

Baca Juga  Sherlock Holmes

Civil War menyimpan aksi besarnya pada penghujung film. Sebuah aksi yang sangat menegangkan ketika Lee dan dua rekannya mengikuti pasukan WF yang mencoba menembus area gedung putih. Satu aspek teknis yang sungguh meyakinkan adalah efek suara. Suara desingan peluru dan bom saling bersahutan sungguh memekakkan telinga. Menonton film ini di bioskop yang memiliki tata suara maksimal adalah sebuah keharusan karena aksi ini adalah salah satu yang terbaik dan serasa paling nyata dari beberapa film perang beberapa tahun belakangan.

Civil War merupakan kombinasi genre perang dan roadmovies yang segar melalui perspektif jurnalis, sekaligus menyajikan realitas suram politik AS. Film ini bisa menjadi sebuah ramalan masa depan jika AS dipimpin oleh pemerintah yang salah. Penonton asal AS rasanya bakal mampu memahami dan mengapresiasi kisah film ini lebih baik. Kita hanya bisa melihat fakta-fakta yang tersaji sekarang, seperti sikap pemerintah AS yang menjadi polisi dunia, serta kekerasan senjata api di AS yang tidak pernah surut hingga kini. Ada yang mau bertaruh?

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaChallengers
Artikel BerikutnyaThe Architecture of Love
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.