Clash of the Titans (2010)
106 min|Action, Adventure, Fantasy|02 Apr 2010
5.8Rating: 5.8 / 10 from 300,408 usersMetascore: 39
Perseus, a demigod and the son of Zeus, battles the minions of Hades and the Underworld in order to stop them from conquering Olympus and Earth.

Clash of the Titans merupakan film fantasi petualangan yang merupakan remake dari film berjudul sama yang diproduksi tahun 1981. Filmnya kali ini diproduksi mengikuti tren masa kini yakni berformat 3D. Filmnya kali ini digarap oleh Louis Leterrier yang sukses menggarap film-film penuh aksi macam Transporter 2 (2005) serta Incredible Hulk (2008). Film ini dibintangi bintang-bintang muda, Sam Worthington serta Gemma Arterton serta beberapa bintang senior seperti Liam Neeson serta Ralph Fiennes.

Konon setelah beberapa waktu lamanya dewa dan dewi berkuasa, sebagian manusia mulai muak dengan keberadaan mereka. Kuil-kuil serta patung-patung dewa dan dewi dihancurkan. Sementara itu Perseus (Worthington) adalah seorang anak nelayan yang sejatinya adalah anak Dewa Zeus (Neeson). Seluruh keluarga Perseus dibunuh oleh Hades (Fiennes) yang kala itu tengah mengamuk menghabisi tentara Argos karena menghancurkan patung Zeus. Di istana Argos, Hades kembali murka ketika ratu Cassiopea mengatakan bahwa kecantikan putrinya, Andromeda membuat iri para dewa dan dewi. Hades memberi ultimatum pada rakyat Argos, pada saat bulan purnama ia akan menghancurkan seluruh kota kecuali sang putri mereka korbankan untuk Kraken, seekor monster raksasa yang konon ditakuti para dewa. Perseus yang menyimpan dendam pada Hades mengemban misi berat bersama rekan-rekannya untuk mencari cara untuk membunuh Kraken.

Bicara film remake masa kini memang tidak lepas dari aksi dan efek visual. Dari sisi aspek cerita segalanya diubah untuk mendukung semua ini. Jika kita bandingkan dengan film aslinya, plot film remakenya kali ini terbilang sederhana, minim karakterisasi, serta lebih menekankan pada plot pencarian. Hal ini wajar saja memang namun ini mengakibatkan keterikatan emosional kita pada tokoh-tokohnya menjadi lemah kecuali tentu Perseus. Karakter penting seperti Io misalnya, bisa saja diberi latar belakang yang cukup melalui teknik kilas-balik secukupnya.

Baca Juga  Nobody

Hal yang menjadi catatan di film remake-nya ini adalah perubahan plot serta karakter yang sangat signifikan dari plot film aslinya. Poseidon serta Hera yang mengambil peran penting dalam film aslinya digantikan oleh Hades. Peran Andromeda sebagai pasangan Perseus tergantikan oleh karakter baru, Io. Karakter penting seperti Bubo, si burung mekanik dihilangkan sementara kuda terbang, Pegasus tidak mendapat tempat istimewa seperti di film aslinya. Di film remake-nya ini Perseus begitu mudah mendapat senjata dewa seperti pedang dan perisai, bahkan Pegasus sekalipun. Sementara di film aslinya Perseus dengan susah payah mendapatkan semuanya. Sekali lagi, semua ini jelas adalah usaha untuk menyederhanakan plot filmnya dengan menghilangkan adegan-adegan banyak dialog dan lebih banyak menampilkan aksi-aksi yang lebih heboh.

Bicara pencapaian estetik jelas film remake-nya ini terlalu superior. Pencapaian setting serta efek visual (CGI) adalah nilai lebih film ini. Set interior istana Argos hingga panorama alam yang indah mampu memberikan nuansa “mitos” era Yunani kuno. Efek visual juga mampu menampilkan hal yang sama seperti eksterior Istana Olympus serta Argos. Sementara pencapaian efek visual tidak perlu diragukan lagi menampilkan dalam menampilkan adegan-adegan aksi serta sosok binatang dan monster seperti Medussa, Kraken, kalajengking raksasa, hingga Pegasus. Namun sekalipun begitu entah mengapa film aslinya yang menggunakan animasi stop-motion terasa jauh lebih menakutkan ketimbang film remake-nya. Karakter Medussa dan sarangnya memang disajikan lebih kreatif dan dinamis namun tidak mampu menandingi nuansa “mistik” dan kengerian Medussa pada film aslinya.

Clash of the Titan adalah tipikal remake masa kini. Sedikit bicara, lebih banyak aksi, bumbu komedi, dan efek visual yang memukau. Itu saja. Penampilan aktor-aktor senior macam Liam Neeson dan Ralph Fiennes juga tidak banyak membantu. Fiennes yang bermain sebagai Hades bahkan berakting mirip dengan Voldermort. Sebagai tontonan 3-D rasanya film ini mampu menampilkan sesuatu yang lebih. Selebihnya film ini hanyalah film hiburan biasa tanpa semangat keberanian yang menjadi jiwa film aslinya.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaPercy Jackson and the Olympians: The Lightning Thief
Artikel BerikutnyaGreen Zone
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses