Cold Pursuit (2019)
119 min|Action, Comedy, Crime|08 Feb 2019
6.2Rating: 6.2 / 10 from 79,782 usersMetascore: 57
A grieving snowplow driver seeks out revenge against the drug dealers who killed his son.

Cold Pursuit adalah film komedi kriminal (black comedy) garapan sineas asal Norwegia, Hans Petter Moland, yang merupakan remake dari film garapannya sendiri, In Order of Dissapearence (2014). Film ini tercatat adalah juga debut produksi Hollywood garapan Petter. Film berbujet US$ 60 juta ini dibintangi oleh aktor kawakan Lian Neeson, Laura Dern, Emmy Rossum, dan Tom Bateman. Dari trailer-nya, tampak jika film ini seperti tipikal film penuh aksi ala Taken yang dibintangi Neeson, namun nyatanya saya salah besar. Sayang sekali, saya belum menonton film aslinya sehingga perspektif bahasan hanya terbatas dari film-film dalam genrenya.

Nelson (Neeson) adalah seorang pekerja kota kecil yang pekerjaannya membersihkan salju jalanan yang menutupi jalan menuju dan keluar kota tersebut. Suatu ketika, Nelson dan istrinya mendapat kabar jika putra mereka tewas karena over dosis. Nelson yang merasa janggal dengan kematian putranya mendapat informasi jika satu komplotan jaringan narkoba di Kota Denver, ada di balik ini semua. Nelson pun mulai beraksi untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian sang putra.

Sekilas jelas, semua orang yang tahu sang aktor pasti akan berpikir film ini bakal mengarah ke mana. Jujur saja, justru itu memang yang saya harapkan. Selalu menyenangkan melihat Neeson beraksi dengan gaya mimik wajahnya yang khas. Saya tak pernah bosan, sekalipun antagonisnya berkarakter itu-itu saja. Sepertiga durasi film, masih terasa film ini bakal mengarah ke sini, sekalipun temponya tidak secepat film-film aksi sang bintang. Namun, dugaan saya salah besar. Alur plot ternyata bergerak ke arah berbeda. Masih ingat film-film arahan Guy Ritchie, macam Lock, Stock and Two Smoking Barrel dan Snacth? Plotnya tak jauh dari ini. Entah bagaimana, aksi-aksi Nelson ternyata memicu perang besar antara dua gembong kriminal di kota Denver. Walau ending tak sulit kita antisipasi, namun prosesnya jelas tak bisa kita tebak.

Baca Juga  Ad Astra

Satu hal yang sangat menarik adalah kemasan film dan sisi komedinya. Kita sering melihat film yang menggunakan segmentasi atau pembabakan, seperti chapter 1, 2, dan seterusnya. Namun, Cold Pursuit memiliki pembabakan yang sama sekali baru, yakni dari sosok yang tewas dalam filmnya. Setiap kali dalam satu “segmen” ada satu orang yang tewas, maka nama (sekaligus simbol agama atau aliran kepercayaan orang tersebut) akan tercantum dalam teks berlatar hitam. Saya hanya bisa tertawa lepas melihat ke layar ketika dalam segmen klimaks, belasan orang mati sekaligus. Tak ada satu pun tokoh yang membanyol dalam film ini, semua nyaris serius, namun kita seringkali tertawa lepas melihat proses cerita yang berjalan penuh dengan kejutan.

Cold Pursuit adalah film kriminal komedi dengan kemasan unik, walau kisahnya tak lagi segar, namun sedikit berbeda dengan tipikal film-film sang bintang. Neeson jelas masih dalam performa primanya, seperti yang kita lihat dalam film-film sebelumnya. Para pemain lainnya pun bermain sama primanya dan tak ada yang bermain buruk. Melihat setting dan suasana sepanjang film yang selalu bersalju, tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya memproduksi film ini. Cold Pursuit juga sedikit memberi renungan tentang situasi sekarang yang memang langka untuk mencari sosok macam Nelson. Ia bukan orang suci, namun punya sikap dan kepribadian yang tegas. Di dunia yang kini serba dingin dan kelabu, tipis antara benar dan salah, serta saling tusuk, rasanya kita perlu orang tegas macam ini untuk membersihkan hambatan “salju” yang menutupi jalan.

WATCH TRAILER

https://www.youtube.com/watch?v=YegEMuICMe4

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaCalon Bini
Artikel BerikutnyaDragon Ball Super: Broly
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.