Siapa yang belum bosan dengan seri Rocky? Satu lagi pecahan serinya, Creed 3, yang untuk pertama kalinya tidak memunculkan sosok Rocky. Creed 3 diarahkan oleh sang bintang sendiri, Michael B. Jordan dalam debut sutradaranya. Jordan didampingi para pemain reguler seri sebelumnya, yakni Tessa Thompson, Phylicia Rashad, Wood Harris, Florian Munteanu, serta kini Jonathan Majors. Sang “Rocky” sendiri, Silvester Stallone, kini hanya duduk di bangku produser. Apa lagi yang kini coba ditawarkan seri ketiga spin-off Rocky ini tanpa Rocky, dengan arahan sang pemain sendiri?

Setelah mengundurkan diri dari ring tinju, kini Adonis (Jordan) beralih menjadi promotor dengan petinju andalannya Felix Chavez yang kini adalah Juara Dunia Kelas Berat. Suatu hari, sahabat lamanya, Damian (Majors) datang ke hidupnya dengan bekas luka yang mendalam. Damian yang dulunya juga seorang petinju amatir, meminta Adonis untuk melapangkan debut karirnya. Adonis pun awalnya menolak tapi kesempatan tak diduga datang. Adonis lalu mempertemukan Damian dengan Felix dalam pertandingan resmi perebutan titel juara dunia. Siapa sangka, ini adalah awal malapetaka dari hidup Adonis.

Ibarat tak ada lawan lagi. Naskahnya kini mencoba mengorek masa lalu Adonis yang masih punya banyak celah. Orang tersebut adalah Damian, sahabat Adonis dan pun seorang petinju tangguh yang dipenjara 18 tahun lamanya. Ini adalah argumen yang cukup untuk menghindari pertanyaan, mengapa baru sekarang ia muncul? Satu momen kecil (kilas-balik) yang melatarbelakangi konflik masa silam Adonis dan Damian, rasanya terlalu lemah untuk menjadikan ini sebagai sarana “balas dendam”. Hubungan Adonis dan Damian (dulu) tak tergambar cukup kuat sehingga konfliknya kini terasa tanggung hingga terasa kurang greget. Sosok lainnya, ibarat hanya menempel dua tokoh utama ini tanpa banyak punya peran berarti.

Baca Juga  Real Steel

Bicara teknis, Rocky adalah gegap gempitanya teknik sinematik dalam ring tinju. Teknik montage dan ilustrasi musik adalah dua pendekatan kuat yang selalu digunakan dalam seri Rocky. Musik tema Rocky yang ikonik membahana adalah salah satu yang terbaik dalam sejarah medium ini. Kini, dua teknik ini seperti tenggelam oleh citra dua sosok utamanya. Namun, terdapat satu teknik baru yang digunakan dalam serinya untuk menggambarkan betapa personalnya pertarungan mereka. Alih-alih menggunakan montage dari ronde ke ronde, sang sineas mengosongkan area penonton (CGI) dan hanya tampak Adonis dan Damian yang saling adu pukul di ring tinju. Cara yang unik dan berkelas. Pas memang untuk mendukung kisahnya.

Creed 3 mencoba lepas dari bayang-bayang kebesaran tokoh utama serinya, namun kisahnya (terlalu) mudah diantisipasi dengan konflik yang kurang menonjok pula, sekali pun para kastingnya bermain bagus. Majors dengan talenta aktingnya, mestinya bisa lebih punya karisma jika konfliknya yang lebih dalam lagi. Kini tanpa Rocky, kisahnya memang berjalan, namun ada sesuatu yang hilang, bukan hanya sosoknya, namun segala atribut yang melatarbelakanginya. Rocky adalah simbol harapan dan semangat, sesuatu yang memudar dalam seri Creed kali ini. Untuk fans Rocky, tak ada ruginya menonton sebagai hiburan akhir pekan. Ke depan, bisa jadi kita dapat melihat sosok baru lagi dalam franchise ikonik ini.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaWe Have a Ghost
Artikel BerikutnyaVirgo and the Sparklings
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.