Berapa banyak pilihan profesi bagi orang-orang dengan bekal pendidikan, pengetahuan, dan keahlian yang minim? Nyaris tipis. Sebagaimana nasib kedua tokoh utama Cross the Line arahan Robby Ertanto. Lewat skenario garapannya dengan Titien Wattimena, dua pelaku sentral dalam cerita tersebut diperankan oleh Chicco Kurniawan dan Shenina Cinnamon. KlikFilm yang merilis Cross the Line lewat platform-nya terbilang sering memproduksi cerita-cerita yang cukup unik. Walau tidak semua yang unik tersebut berhasil digarap dengan baik. Lantas, bagaimana dengan yang satu ini?
“Janjinya hidup makmur di negeri orang, ini malah jadi budak di negeri sendiri.”
Haris (Chicco) dan Maya (Shenina) mengadu nasib bekerja di kapal lewat sebuah agen. Sepasang kekasih ini sama-sama punya mimpi dan janji masing-masing. Namun agen yang mereka percayai malah menempatkan keduanya sebagai pekerja bergaji kecil di dermaga. Maya pun skeptis dengan mimpinya, sementara Haris hanya bisa meminta maaf dan terus membualkan janji. Sampai sebuah kabar buruk datang dari rumah, dan Maya tiba-tiba harus secepatnya mendapatkan uang dalam jumlah besar. Maya lantas didera pilihan dilematis, antara mempertahankan harga dirinya atau menghalalkan segala cara demi uang tersebut. Di sisi lain, Haris mau tidak mau harus menentukan pilihannya juga.
Cerita berlatarkan perkapalan, dermaga, dan pelabuhan boleh jadi amatlah jarang di antara film-film fiksi panjang tanah air selama ini. Ide yang menyoal para pekerja terbawah dalam kapal-kapal maupun dermaga pun demikian. Apalagi bila tanpa menyuguhkan akhir cerita yang solutif atau jelas untuk tokoh utamanya, baik bahagia maupun sedih. Tanpa menunjukkan perubahan nasib, ketika sang tokoh tengah memperjuangkan sesuatu. Lebih jarang lagi. Sebagaimana Cross the Line menyoroti kelas ekonomi dan penyelesaian masalah keuangan yang seolah mirip Jakarta vs Everybody. Film sang sutradara dua tahun lalu. Namun meski secara sepintas terkesan bergaya barat, Cross the Line melewatkan potensi maksimalnya.
Cross the Line mestinya masih bisa memperlihatkan kompleksitas masalah yang lebih pelik lagi untuk kedua tokoh utamanya. Salah satunya seperti keterlibatan kepolisian yang dapat meningkatkan tensi dramatik hingga menanjak lebih curam dan tinggi, serta sanggup membuat sisi emosional kedua tokoh utama lebih kacau lagi. Dengan demikian, baik kehidupan Haris maupun Maya akan sama-sama semakin terombang-ambing dalam gelombang yang besar. Jadi ketika mereka berdua akhirnya berhasil (bisa juga tidak) lolos dari semua itu, akhir cerita pun dapat lebih memuaskan. Namun boleh jadi ini sesuai dengan realita di lapangan.
Tampaknya Robby dan Titien sepakat untuk tidak terlalu jauh melemparkan kedua tokoh mereka ke tengah lautan lepas. Lagipula set yang mereka gunakan juga tidak pernah melepaskan sandaran kapal dari dermaga. Walau kita tidak benar-benar tahu secara pasti, ada di mana tepatnya dermaga tersebut. Masih di sekitaran Indonesia, Malaysia, atau sudah di Singapura sebagaimana mimpi Maya? Kita hanya mendapat beberapa informasi tipis dan harus merangkai semuanya sendiri, sembari menyaksikan Haris dan Maya yang kebingungan sendiri dengan langkah-langkah mereka. Apa yang sebetulnya diinginkan Robby dan Titien untuk kedua tokoh mereka?
Walau dengan kondisi jalan yang sedemikian abu-abu untuk Haris dan Maya, kita akhirnya bisa melihat kembali duet olah peran dari Chicco dan Shenina. Setelah kerja sama mereka dalam Penyalin Cahaya tahun lalu. Dua pendatang baru yang kini terikat dalam relasi yang lebih dalam. Meski secara garis besar, sebetulnya kehidupan dan perjuangan mereka untuk bertahan pun tidaklah jauh berbeda dengan kondisi ekonomi Sur dan Amin. Setidaknya ada satu kemiripan paling dekat di antara peran mereka dalam Cross the Line dan Penyalin Cahaya. Maya dan Sur sama-sama memiliki ambisi yang tinggi untuk sebisa mungkin mencapai sesuatu, apapun caranya, bagaimanapun risikonya. Sedangkan Haris dan Amin yang selalu siap sedia berkorban membantu dengan caranya sendiri.
Kendati dengan chemistry yang telah sedemikian teruji, perputaran cerita yang terlalu dalam berporos kepada Haris dan Maya mendatangkan satu masalah. Kita sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengenal siapapun selain mereka dalam Cross the Line. Padahal ada orang-orang yang sebetulnya berjasa untuk mereka. Minimal, sebagai jalan keluar sementara untuk kebutuhan mereka akan uang. Daripada putus asa dan depresi. Namun Robby dan Titien menolak kemungkinan itu. Pada akhirnya kita hanya terus mengikuti perjalanan keduanya memperjuangkan mimpi-mimpi, janji-janji, dan tanggung jawab masing-masing yang entah berhasil tercapai atau malah tidak sama sekali. Pun setelah lolos dari masalah terakhir, apakah mereka masih berada di tempat yang sama?
Namun Cross the Line bukannya sukar dinikmati. Nuansa suram dan suasana yang gelap sekaligus sarat kritik yang tersirat akan kehidupan di dermaga pelabuhan menjadi keseksian tersendiri dalam ceritanya. Lagipula gaya film-film arahan sang sutradara selama ini memang lebih-kurang demikian. Minimal mengandung kritik terhadap lingkungan, situasi, atau kondisi tertentu yang sesungguhnya tidak baik-baik saja, namun terabaikan. Bukan hanya lewat dialog semata. Seperti yang kerap kali dilakukan banyak film lokal kita. Namun juga lewat warna, musik, cara kamera beroperasi, olah peran para pemain, kerja-kerja artistik, serta transisi antargambarnya.
Cross the Line terlampau erat mengikat poros cerita terhadap kedua tokoh utamanya, namun pada akhirnya tidak menghasilkan solusi yang memuaskan. Seakan bukan versi terbaik dari karya-karya Robby dan Titien selama ini dari segi skenario. Justru bagian sinematiknya lah yang berperan besar mengangkat keseluruhan film. Walau memang Cross the Line menawarkan ide dasar yang jarang muncul akhir-akhir ini. Namun amat disayangkan, ide dasar tersebut malah tidak mencapai potensi maksimalnya di tangan Robby dan Titien. Sekadar memperlihatkan sisi gelap pekerjaan di lingkungan pelabuhan, dermaga, dan kapal.