Jarang sekali rilis di bioskop, sebuah film drama full dialog yang hanya berlatar cerita di sebuah mobil. Daddio adalah film drama yang digarap oleh sineas debutan Christy Hall. Film ini dibintangi oleh dua bintang tenar, yakni Dakota Johnson serta aktor kawakan, Sean Penn. Target penontonnya jelas bukan untuk kalangan awam, akankah memberi sesuatu yang segar bagi genrenya?
Seorang perempuan muda keluar dari airport JFK dan menggunakan moda taksi untuk pulang ke tempat tinggalnya di tengah Kota New York. Sang sopir mengajaknya berbincang kecil dan si perempuan pun merespon. Perbincangan yang awalnya terlihat normal menjadi semakin intens sepanjang perjalanan. Tanpa disadari, mereka mulai membuka diri satu sama lain yang mengubah cara pandang mereka tentang kehidupan.
Film yang dominan ber-setting di dalam mobil, memang bukan hal baru bagi medium film, sebut saja Locke (2013), Vehicle 19 (2013), Wheelman (2017), Sympathy for the Devils (2023), serta ada beberapa film yang saya tak ingat judulnya. Semua film tersebut, rata-rata bergenre thriller yang mengutamakan sisi aksi. Daddio ibarat “Before Sunrise” dalam satu momen perjalanan menggunakan taksi. Satu hal yang memotivasi untuk menonton ini adalah dua bintangnya, khususnya Sean Penn. Sudah lama tak melihat performa sang aktor dalam layar bioskop, dan ia juga tak pernah bermain dalam setting cerita terbatas semacam ini.
Bicara plotnya, sesungguhnya tidak ada yang istimewa. Skenario macam ini bisa jadi telah dirasakan banyak orang dalam hidup, termasuk kita sendiri, bahkan mungkin beberapa kali. Begitu dialog bermula, kisahnya pun berjalan nonstop diselipi shot-shot suasana jalan dan kota New York. Konon produksinya berlangsung di studio dengan latar LED raksasa (sama seperti Sympathy for the Devils), namun cahayanya masih tampak natural. Sisi rutinitas yang membumi ini tentu kita bisa rasakan benar melalui dua karakter utamanya. Bukan perbincangan atau topik dialog yang menjadi kekuatan terbesarnya, namun performa dari kedua bintangnya. Intensitas dramatik dialognya patut diacungi jempol dalam membangun kedekatan kedua karakternya hingga segmen klimaks. Dalam beberapa momen “kosong”, rasa bosan memang sedikit mengusik.
Johnson bermain natural sebagai si perempuan muda yang memiliki problem internal dengan “pacar”nya, dan rasanya ini bukan peran sulit baginya ketimbang Persuasion (2022). Walau jelas, ini berada jauh di atas perannya sebagai manusia “laba-laba” yang rilis beberapa waktu lalu. Penampilan Johnson terbilang apik, namun tidak istimewa. Sementara Penn adalah bintangnya. Sang aktor kawakan peraih dua Piala Oscar ini tidak hanya ekspresif dalam berdialog, namun gesture hingga tatapan matanya pun banyak berbicara tanpa dialog. Akting Penn jelas mengangkat performa lawan mainnya. Chemistry antara kedua tokohnya ini yang membuat Daddio terasa berbeda.
Daddio sebuah film unik dengan kemasan minimalis yang memiliki kekuatan pada penampilan dua bintangnya. Sebagai tontonan awam, jelas ini bukan film untuk semua orang. Lebih terasa sebagai tontonan festival. Dugaan saya benar, di Jogja, Daddio hanya tayang satu hari dan itu pun hanya satu jam tayang saja. Keesokan harinya, film ini telah menghilang. Tak bakal lama, rasanya versi digitalnya rilis. Sensasi menonton film semacam ini tentu amat berbeda di layar lebar.