Tonton video review artikel ini di bawah.
Danur 2: Maddah merupakan sekuel dari Danur: I Can See Ghost yang rilis tahun lalu. Sekuelnya kali ini juga merupakan adaptasi dari novel berjudul Maddah yang juga ditulis oleh Risa Saraswati. Novelnya sendiri merupakan kisah nyata yang dialami sang penulis, yang konon ia memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal gaib. Seperti film pertama, Danur 2: Maddah disutradarai oleh Awi Suryadi dan juga masih dibintangi oleh Prilly Latuconsina sebagai tokoh utamanya. Melihat kesuksesan Danur tahun lalu yang mencapai jumlah penonton hingga 2.736.157, tampaknya film kedua ini akan mengulang kesuksesan yang sama. Dalam dua hari pemutaran saja, film ini telah meraih hampir 200 ribu penonton.
Danur 2: Maddah bercerita tentang Risa (Prilly Latuconsina) dan adiknya Riri, memiliki seorang paman yang baru saja pindah rumah ke Bandung. Pamannya tinggal bersama Istri dan anaknya. Risa dan Riri pun sering berkunjung ke sana. Rumah sang paman terbilang besar dan terlihat kuno. Suatu ketika, keluarga tersebut mengalami beberapa kejadian aneh. Terlebih pamannya berubah sikap menjadi lebih dingin, setelah memasuki satu kamar pavilliun yang terbengkalai. Angki, sepupu Risa akhirnya meminta bantuan Risa untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Risa dan Riri pun akhirnya menginap di rumah tersebut. Risa pun akhirnya merasakan hal-hal aneh yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Sang sineas mengemas film kedua ini masih dengan formula yang sama dengan film pertama. Risa kini digambarkan telah move on dari kejadian sebelumnya dan ia pun “berteman” dengan hantu-hantu cilik serta memahami betul jika ia memang memiliki kemampuan yang berbeda. Jika film pertama lebih menekankan pada background karakter Risa, film kedua ini mengarah pada satu tes bagi Risa untuk menghadapi sebuah kasus yang berbeda. Sosok hantu yang dihadapi Risa terlihat seperti memiliki energi yang lebih kuat dari film pertama.
Dibandingkan dengan film pertama, Maddah terasa lebih menyeramkan dan menegangkan. Sang sineas mampu mengemas adegannya dengan intensitas ketegangan yang tinggi. Unsur suspence yang tiada hentinya ini, hampir membuat penonton tidak memiliki jeda untuk istirahat. Adegan pada opening menampilkan sosok paman Risa beserta pengalamannya yang disajikan dengan teknik wawancara mampu membuat merinding serta membangun mood. Dengan teknik ini dengan tampilan aspek rasio fullscreen, adegan tersebut terlihat meyakinkan meyakinkan.
Hampir sepanjang film, peristiwa hanya terfokus di rumah sang paman. Terkadang aspek waktu agak kabur. Beberapa adegan, transisi waktu kurang begitu jelas sehingga kadang penonton tidak mengetahui bahwa waktu cerita ternyata berganti. Ada beberapa kejanggalan dalam cerita, seperti adegan di rumah sakit yang penggambarannya kurang wajar karena terlihat sangat sepi dan sudah tidak terpakai. Anehnya lagi, Risa bertemu dengan seorang ibu yang juga cenayang, secara kebetulan bisa membaca situasi Risa. Akan lebih cocok, misalkan saja adegan di rumah sakit adalah adegan mimpi yang menjadi satu perjalanan “spiritual” bagi Risa untuk memahami sesuatu. Penyelesaian cerita dan solusinya pun tidak menunjukkan Risa sebagai sosok yang sedang diuji dan mampu memahami sesuatu lebih dalam.
Secara teknis, film ini terbilang mapan ketimbang film pertamanya. Setting, pencahayaan, akting, dan pengambilan gambar sudah mendukung aspek cerita. Pengambilan gambar beberapa kali menggunakan teknik long take dan frame miring untuk menunjukkan situasi yang tak wajar. Ilustrasi musik bernuansa horor juga sudah mendukung adegan-adegannya. Tata cahaya yang hampir sepanjang film cenderung gelap mampu mengintimidasi penonton walau terasa agak tak wajar. Tak heran jika pada saat pemutaran, ada beberapa penonton merasa janggal dan menyeletuk, “hemat listrik” karena minimnya penggunaan lampu. Bahkan adegan di rumah sakit pun tata cahaya hanya berupa lampu neon yang bekedip-kedip. Film ini rasanya juga akan booming dan dari adegan penutup mengindikasikan sekuel berikutnya.
WATCH OUR REVIEW