dear david

Tren konflik keadilan antara keberpihakan lembaga pendidikan, siswa berprestasi penerima bantuan, serangan para perundung, dan ranah privasi kali ini mencuat lewat Dear David. Roman remaja arahan Lucky Kuswandi yang ditulis oleh Daud Sumolang, Muhammad Zaidy, dan penulis baru, Winnie Benjamin. Melalui produksi Palari Films yang tak jarang mencuri perhatian, para pemeran film ini yaitu Shenina Cinnamon, Maya Hasan, Caitlin North Lewis, Emir Mahira, Jenny Zhang, Restu Sinaga, dan Michael James. Lucky Kuswandi punya satu kesamaan dengan Teddy Soeriaatmadja, yakni paling banter hanya muncul setahun sekali. Lantas, bagaimana dengan film arahannya kali ini?

Kehidupan sekolah bagi seorang siswa berprestasi dengan bantuan keringanan biaya tidaklah menyenangkan bagi Laras (Shenina). Status Ketua OSIS-nya pun tak banyak membantu mendatangkan hal baik dari para siswa. Hanya tatapan iri dan dengki yang ia terima. Satu-satunya pelarian yang bisa mengobati semua tekanan itu hanyalah menulis kisah fiksi dengan konten dewasa. Namun, sebuah kecerobohannya mengundang niat buruk salah seorang siswa untuk menyebarkan tulisannya ke media sosial. Walhasil, tulisannya menghebohkan seisi sekolah dan menyita perhatian kepala sekolah (Jenny Zhang). Laras juga merugikan sahabatnya sendiri, Dilla (Caitlin), serta seseorang yang ia sukai.

Tidak satu atau dua kali ini sineas kita membuat film remaja dengan unsur-unsur seputar seksualitas, perundungan, lembaga pendidikan, serta bantuan untuk siswa berprestasi. Agaknya, sejak kemunculan Dua Garis Biru empat tahun silam, arah film-film remaja di Indonesia makin meluas. Beberapa film remaja yang rilis setelahnya mengekor tema-tema yang berdekatan dengan Dua Garis Biru, seperti Di Bawah Umur, Yuni, dan Penyalin Cahaya. Termasuk topik-topik sensitif yang kerap ditulis Gina S. Noer melalui Like & Share maupun Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga. Tampaknya para sineas dalam negeri tengah berhasrat memperlebar cakupan cerita mereka. Tak terkecuali hingga menyerempet ke ranah-ranah kontroversial.

Dear David pun lebih-kurang demikian. Tanpa praktik-praktik perundungan, unsur khayalan dari sang tokoh utama, dan kritik terhadap keberpihakan lembaga pendidikan, Dear David hanyalah drama roman remaja semata. Ketiganya menjadi daya tawar yang kuat dalam cerita. Meski ada satu-dua kejanggalan yang luput dari para penulis, apakah SMA Cahaya tidak punya Guru Bimbingan Konseling (BK), sehingga segala urusan sekolah terkait masalah siswa diurus sendiri oleh kepala sekolah? Para penulis tampak terlalu fokus pada konfrontasi antara sang kepala sekolah dengan Laras dan Dilla yang dianggap biang keributan. Padahal keberadaan Guru BK yang berpihak kepada siswa tetapi tak berdaya menentang kepala sekolah dapat menguatkan banyak hal.

Baca Juga  Jaga Pocong

Bila kita tarik mundur semenjak pencapaian Shenina sebagai Sur dalam Penyalin Cahaya, beberapa peran yang dimainkannya selalu punya kemiripan. Seolah menjadi tipikal, karena tampak cocok. Seorang perempuan yang menahan diri sambil terus berharap bisa menggapai mimpi dan cita-citanya. Lihat saja karakternya dalam Cross the Line dan Dapur Napi (series). Olah peran dari pemain lain juga bisa dengan mudah tertutup olehnya, jika mereka tak cukup kuat. Hanya ada Jenny Zhang yang sedari awal memang sudah menunjukkan aura superioritasnya. Caitlin pun tergopoh-gopoh mengimbangi mereka, meski ia berhasil. Sementara itu, sang lawan main Laras, Emir, membawakan perannya hanya pada level rata-rata.

Segmen-segmen khayalan boleh jadi merupakan senjata penjualan Dear David. Kita tahu film-film remaja lain yang sejenis banyak berkutat pada gambar-gambar realistis selama ini. Walau pada saat yang sama, memvisualkan khayalan yang juga berhubungan dengan unsur seksualitas romansa yang vulgar, cenderung mendekatkan Dear David pada kemasan-kemasan film remaja ala barat. Termasuk beberapa adegan praktik percintaannya. Supaya sesuai dengan budaya pergaulan remaja masa kini? Namun, tidakkah itu sama saja dengan memvalidasi dan menormalisasi hal-hal yang tak sejalan dengan moral kita? Kita juga tak perlu menyinggung soal cara Dilla “memandang” Laras.

Dear David menjajal konsep yang berbeda dalam mengejawantahkan roman remaja anak SMA, masalah perundungan, dan lembaga pendidikan, tetapi terlalu vulgar. Memang keberanian, keberpihakan, dan tendensi sang sineas dan ketiga penulisnya terkait beberapa isu patut mendapat tempat untuk diapresiasi. Segmen-segmen bertempo lambat yang mereka buat juga cukup baik membawa penonton untuk menyerap banyak informasi, dan turut merasakan emosi dari ketiga tokoh sentral, Laras, Dilla, dan David. Namun, sayangnya Dear David kekurangan efek jera terhadap setiap kesalahan yang dimunculkan sedari awal cerita. Untuk para perundung, penyebar aib atau privasi seseorang, maupun martabat sekolah sebagai lembaga pendidikan. Pada akhirnya, Dear David “juga” ditutup dengan ciri khas roman remaja. Masih sama saja seperti mayortas film roman remaja kita hingga detik ini.

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaBerbalas Kejam
Artikel BerikutnyaMissing
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.