Death Wish (2018)

107 min|Action, Crime, Drama|02 Mar 2018
6.3Rating: 6.3 / 10 from 77,781 usersMetascore: 31
Dr. Paul Kersey is an experienced trauma surgeon, a man who has spent his life saving lives. After an attack on his family, Paul embarks on his own mission for justice.

Bruce Willis kembali dalam peran tipikalnya. Kita tahu aktor ini naik daun menjadi aktor laga sejak Die Hard beberapa dekade silam, dan sukses dengan beberapa sekuelnya. Setelah beberapa tahun terakhir banyak bermain dalam film aksi medioker, Willis kini menggantikan peran Charles Bronson dalam seri yang hits di tahun 1970-an, Death Wish. Seri aslinya juga sempat diproduksi beberapa sekuelnya, walau sukses, namun dianggap pengamat sebagai medioker. Film remake-nya kini, digarap oleh Eli Roth (Hostel) dengan banyak mengganti unsur cerita dari kisah aslinya. Ekspektasi memang tinggi, namun hasilnya sungguh di luar dugaan.

Paul Kersey (yang aslinya seorang arsitek) adalah seorang dokter bedah di Chicago yang hidup bahagia bersama istri dan putrinya. Musibah terjadi, seperti bisa tampak di trailer-nya, dan kisah pun dimulai. Plot berjalan sabar, persis seperti saya yang menonton untuk menanti sesuatu terjadi di filmnya. Hal yang ditunggu tak kunjung datang. Alur plot berjalan terlalu tipikal genrenya, bahkan amat mirip dengan plot The Brave One (Jodie Foster), dan film yang saya sebut ini jauh berbeda kelas. Saya juga tidak berharap plot aksi macam film-film Liam Nesson, tapi Bruce Willis adalah John McClane, for God sake! Sang aktor telah stereotip dengan sosok ikonik ini. Ketika aktor ini sudah begitu melekat dengan peran jagoan, maka agak aneh rasanya melihat sang tokoh harus belajar menembak dan gugup dengan senjata. Semuanya terasa salah. Tak ada komen soal plot karena semua sudah tampak di trailer.

Hal yang menarik setelah separuh durasi, bagi saya sudah bukan plotnya, namun ke mana arah filmnya jika dikaitkan dengan isu senjata api di AS. Baru beberapa minggu lalu, tragedi kekerasan senjata api terulang lagi untuk kesekian kalinya di sebuah sekolah di Florida dengan belasan orang tewas. Tragedi ini rasanya sudah jamak di AS. Saya penasaran, Death Wish, ingin berpihak ke mana? Plot filmnya jelas mengarah ke sosok preman yang main hakim sendiri dan membunuh secara brutal para kriminal. Berulang kali, reporter radio memberikan polling pada pendengar, “Aksi main hakim sendiri seperti ini, Anda setuju atau tidak?”. Bahkan di filmnya digambarkan secara jelas betapa mudahnya untuk mendapatkan senjata api beserta ijinnya. Namun, tak ada jawaban yang tegas di filmnya.

Baca Juga  Skyscraper

Sekalipun sang jagoan telah kembali, Death Wish tak mampu memberikan sesuatu apapun yang baru dari plot tipikal genrenya yang sudah terlalu jenuh. Daripada susah payah membuat film medioker macam ini, mengapa tidak membuat sekuel Die Hard jika hanya ingin sukses komersial. Setidaknya pembuat film bisa membuat naskah yang lebih inovatif untuk aktor laga yang sudah dikenal baik oleh penonton. Di-ending, sang dokter, melakukan gestur yang sama dengan film aslinya, yakni menembak sang pencuri dengan gestur tangannya yang membentuk pistol. Semoga ini tidak berujung pada produksi sekuelnya.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaRed Sparrow
Artikel BerikutnyaThe Shape of Water
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.