District 9 (2009)
112 min|Action, Sci-Fi, Thriller|14 Aug 2009
7.9Rating: 7.9 / 10 from 722,517 usersMetascore: 81
Violence ensues after an extraterrestrial race forced to live in slum-like conditions on Earth finds a kindred spirit in a government agent exposed to their biotechnology.

District 9 merupakan film fiksi-ilmiah garapan sineas debutan Neill Blonkamp dengan diproduseri sineas besar, Peter Jackson. Film independen ini konon diadaptasi dari film pendek yang juga diarahkan Neill berjudul Alive in Joburg. Tidak seperti film fiksi ilmiah lazimnya, District 9 menggunakan aktor-aktor non bintang, yakni Sharlto Copley, Jason Cope, dan Robert Hobbs. Juga tidak seperti film fiksi-ilmiah lazimnya, film ini hanya menghabiskan biaya produksi sebesar 30 juta dollar saja.

Alkisah sebuah pesawat luar angkasa asing berukuran raksasa jatuh dan melayang di atas kota Johannesburg, Afrika Selatan. Pesawat tersebut entah mengapa tidak lagi mampu beroperasi dan para penumpangnya yang diistilahkan prawn berjumlah jutaan diungsikan ke kota. Agar tidak menimbulkan masalah lanjutan bagi warga kota mereka dikumpulkan dalam sebuah kawasan terisolir yang diberi nama District 9. Pemerintah lokal juga mengontrak sebuah lembaga internasional, MNU (Multi National United) untuk mengawasi dan mengontrol para prawn. Dua puluh tahun berlalu para prawn dan distrik 9 telah menjadi bagian (area slum) dari kota Johannesburg. Prawn ternyata juga berintelegensia tinggi dan memiliki senjata ampuh yang diminati MNU. Dengan dalih kemanusiaan MNU mulai menyapu distrik 9 dan berencana memindahkan mereka ke distrik 10 yang jauh dari kota. Masalah bermula ketika pimpinan divisi lapangan MNU, Wikus van der Merwe (Copley) secara tak sengaja terciprat wajahnya oleh cairan misterius milik prawn bernama Christoper Johnson yang lambat laun secara genetis merubah dirinya menjadi prawn.

Tak bisa disangkal, District 9 adalah salah satu film fiksi-ilmiah terbaik yang pernah diproduksi. Naskah cerita orisinil serta unsur dramatik yang kuat menjadi salah satu kunci kekuatan filmnnya. Sepanjang film, District 9 juga dikemas secara unik menggunakan teknik dan gaya dokumenter. Sekuen pembuka yang mengisahkan latar-belakang kedatangan pesawat angkasa dikemas secara singkat dengan sangat menawan layaknya ulasan berita. Sekuen ini juga menampilkan wawancara pejabat MNU serta beberapa narasumber. Penggunaan teknik handheld camera sepanjang filmnya serta terkadang POV shot kamera TV serta CCTV juga semakin memperkuat efek realisme. Kombinasi teknik ini plus pencapaian CGI yang amat sangat memukau membuat penonton sulit membedakan antara aksi nyata dengan rekayasa digital. Sungguh pencapaian yang sulit dipercaya untuk film sekelas (independen) ini.

Baca Juga  21 Jump Street

Sejak awal sebenarnya telah terlihat nuansa politik dalam cerita filmnya. Afrika Selatan beberapa dekade silam kita kenal dengan rezim apartheid yang secara legal memisahkan satu ras dengan ras lainnya yang berakhir pada era Nelson Mandela pada dekade 90-an. Layaknya era apartheid, ras alien (prawn) dipisahkan secara paksa dengan ras manusia. Area diluar distrik 9 terlarang bagi prawn dan mereka juga tidak mendapatkan sarana dan fasilitas hidup yang tidak manusiawi. Terlepas dari nuansa politiknya lebih jauh film ini sebenarnya berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Kekuasaan dan ketamakan manusia menjadi penekanan tema filmnya. MNU dan para gangster saling berebut mendapatkan Wikus untuk kepentingan mereka. Makhluk asing justru digambarkan lebih manusiawi ketimbang ras manusia sendiri dan nasib sial bagi mereka harus jatuh ke planet bumi. Film ini juga membuka kita untuk menafsirkan apa saja. Bangkai pesawat angkasa raksasa yang melayang di atas kota bisa kita artikan sebagai umat manusia yang tidak lagi memiliki nurani.

District 9 adalah sebuah film fiksi-ilmiah istimewa melalui capaian visual serta pendekatan cerita yang sangat manusiawi. Pesawat angkasa tidak lagi mendarat di kota New York, Washington, Paris, London, atau kota-kota besar di dunia seperti lazimnya. Tidak ada adegan aksi pertempuran gila-gilaan antara umat manusia dan alien. Tidak ada tokoh jagoan serta aksi heroik. Semua hal dalam film ini manusiawi. Umat manusia justru disudutkan dan rasanya kita memang pantas untuk disudutkan. Film ditutup dengan sebuah shot sangat menyentuh memperlihatkan “Wikus” yang tengah membuat bunga mawar dari besi untuk istrinya. Apakah memang kita harus menunggu makhluk asing datang ke bumi untuk bisa menjadi manusia yang lebih mulia?

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaG.I. Joe: The Rise of Cobra
Artikel BerikutnyaStar Trek
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.