Mengandung spoiler dan sebelum membaca disarankan untuk menonton Ditto versi orisinalnya.

Ditto adalah film fantasi roman produksi Korea Selatan yang merupakan remake dari film berjudul sama yang diproduksi tahun 2000 silam. Pada masanya, film versi aslinya ini digandrungi para pecinta film Korea yang kala itu mulai membanjiri rental-rental DVD. Uniknya pula, versi ini juga memiliki premis senada dengan film sci fi thriller Hollywood, Frequency (2000) yang rilis di tahun yang sama. Ditto versi remake ini diarahkan Seo Eun Young yang dibintangi Yeo Jin-goo, Cho Yi-hyun, Kim Hye-yoon, Na In-woo, dan Bae In-hyuk. Lantas bagaimana pencapaian versi remake-nya kini?

Kim Yong (Jin-goo) adalah mahasiswa teknik mesin angkatan tahun 1999 yang mengandrungi adik kelasnya Seo Han-sol (Hye-hyun). Sementara Kim Mu-nee (Yi-hyun) adalah mahasiswi sosiologi angkatan tahun 2022. Keduanya secara tak sengaja mampu berkomunikasi melalui radio CB. Butuh waktu bagi keduanya untuk bisa memercayai ini semua, sebelum akhirnya menjadi sahabat yang saling memberi tips kehidupan cinta mereka. Tanpa disadari, mereka berdua rupanya memiliki relasi yang kuat dengan orang-orang di dekat mereka yang memengaruhi masa depan dan masa lalu keduanya.

Bermain-main dengan waktu seperti plot versi aslinya memang sangat menarik. Satu catatan terbesar bagi keduanya adalah mengapa anomali (komunikasi via CB) ini bisa terjadi? Tidak seperti Frequency yang dijelaskan melalui fenomena anomali alam unik, dua kisah Ditto ini menggunakan fenomena gerhana bulan. Lalu apa istimewanya kejadian alam ini? Tokoh-tokoh dalam kisahnya pun tidak pernah mempertanyakan hal super aneh ini. Kisahnya memang tidak mengarah ke sci fi tapi roman. Namun, ini tetap terasa absurd dan versi remake-nya makin mengesampingkan hal ini.  Sementara pada versi aslinya, adanya gap waktu memancing banyak perbincangan tentang masa lalu dan masa depan (politik, perang, kampus), sebelum masuk ke hal yang lebih personal.

Baca Juga  Kate

Cukup dengan anomali CB, kita beralih ke sisi roman. Ada perbedaan besar antara versi asli dan remake-nya, yakni soal gender. Penyegaran terbesar adalah dua tokoh utamanya berganti dari sosok perempuan (So-uen) di versi aslinya menjadi laki-laki (Kim Yong) di versi remake-nya. Alhasil, semua karakter pendukungnya pun berubah. Satu hal lain yang membedakan adalah relasi antara Kim Yong dengan Han-sol tidaklah sekuat hubungan versi aslinya. Versi remake-nya ini terasa agak memaksakan banyak hal dan tidak bisa kita rasakan adanya ikatan batin yang kuat. Pun hubungan awal antara Han-sol dengan sahabat Kim (suaminya kelak) tidak tergambar jelas. Berbeda dengan versi aslinya yang memperlihatkan bagaimana awal mula kedekatan sahabatnya dengan idola hatinya. Versi aslinya terasa lebih natural. Hanya saja, hubungan Mu-nee dan cowoknya, Young-ji, memang terasa lebih hangat dan romantis ketimbang versi aslinya. Untuk ending-nya, versi aslinya justru jauh lebih mengena.

Ditto adalah remake modern dari versi orisinalnya dengan pengembangan kisah yang lebih dangkal sekalipun premisnya amat menjanjikan. Kisah roman berujung patah hati macam ini memang sudah dieksplorasi sangat banyak. Namun pengorbanan batin sang tokoh utama (Kim Yong dan So-eun), apakah sepadan dengan kebahagiaan hati mereka? Kim Yong digambarkan sebagai penulis novel sukses dan So-eun adalah seorang profesor bahasa yang masih lajang, namun tetap saja terlihat ada yang hilang dalam diri mereka. Tidak salah memang, realita kadang menyesakkan tapi ini adalah kisah fiksi yang kental sisi fantasi pula. Apakah anomali luar biasa (komunikasi CB) yang mereka alami lantas membuat tidak layak mendapatkan kesempatan kedua? Lantas untuk apa semua anomali itu eksis? Apa semesta setega itu?

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaWaktu Maghrib
Artikel BerikutnyaThe Boy, the Mole, the Fox and the Horse
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.