Dogtooth adalah film tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dalam sebuah keluarga. Dan untuk memetakan kemungkinan tersebut, ia memilih untuk bercerita dengan cara yang bizarre sebab yang ingin ditunjukkan adalah kemungkinan terburuk. Hampir sepanjang film hanya mengambil tempat dirumah sebuah keluarga: halaman, kolam renang, dan pagar-pagarnya yang tinggi. Ayah dan Ibu senantiasa berusaha menghindarkan ketiga anak mereka dari pengaruh buruk dunia luar, sehingga mereka tak memperbolehkan anaknya untuk keluar rumah, tak ada telepon, dan tak ada televisi karena anak-anak hanya diperbolehkan menonton rekaman video keluarga mereka sendiri. Untuk memberikan yang terbaik, bahkan sang ibu juga tak pernah keluar rumah, hanya ayah yang pergi bekerja dipagi hari dan pulang membawa oleh-oleh disore hari.
Mungkin mudah bila mengatakan bahwa Dogtooth adalah The Seventh Continent (Michael Haneke, 1989) dalam bentuk komedi. Tapi bagi saya Dogtooth sama sekali tidak lucu dalam narasi yang komedik. Saya dipaksa ketawa menyaksikan betapa orang tua ini sudah sampai pada tahap yang benar-benar menyedihkan, mereka bahkan mengajari anak mereka denngan kosakata sendiri: “Sea” artinya kursi berlengan, “Zombie” bermakna bunga matahari, “Cunt” berarti lampu, dan “Keyboard” adalah vagina. Jadi bila digunakan dalam kalimat, si anak akan berteriak “I want to sleep, please turn off the cunt!”.
Kemungkinan baru tersebut mengantarkan anak-anak ini pada konvensi moral mereka sendiri. Demi mengimbangi kebutuhan seksual putra tertua mereka, sang ayah menyewa seorang satpam wanita agar datang kerumah secara berkala untuk bersetubuh dengan si anak. Kedua adik perempuannya tak punya modal apapun untuk memprotes karena dalam keluarga ini, hal tersebut adalah hal yang sepatutnya dilakukan. Hal kedua yang membuat tertawa adalah ekspresi kedua anak perempuan yang meskipun sudah berusia belasan, masih merengek dengan gaya anak umur sepuluh tahun.
Dogtooth, yang tahun 2009 menyabet penghargaan Un Certain Regard di Festival Film Cannes kemudian membongkar tatanan ceritanya sendiri untuk menunjukkan semacam rezim fasis yang diberlakukan oleh para orang tua terhadap anak-anak mereka. Lengkap dengan propagandanya: sang ayah menyetel “Fly Me to the Moon”-nya Frank Sinatra di Phonograf lalu menjelaskan pada anak-anaknya bahwa lagu itu bercerita tentang betapa sayangnya sang nenek moyang pada cucu mereka, dan dengan demikian para cucu harus mematuhi petuah orang tua. Ketiga anak malang ini bertepuk tangan dengan takzim.
Rezim fasis yang ekstrim ini bahkan mempercobakan hubungan seks antar anak mereka sendiri. Suatu ketika si satpam perempuan tak lagi datang kerumah sehingga si Ayah harus menggunakan anak perempuan untuk bersetubuh dengan kakaknya. Si ayah juga membiasakan anak mereka menggonggong seperti anjing, menjilat lawan bicara ketika ingin meminta sesuatu, dan menjanjikan bahwa “Siapapun yang giginya rontok, kanan ataupun kiri, maka ia boleh keluar rumah,” (Yang jelas tak mungkin sebab anak berumur belasan tak mungkin tanggal lagi giginya). Format cerita yang gila ini dibiarkan tanpa penjelasan sebagai upaya protes atas mereka (mungkin) yang terlalu protektif terhadap anak-anak mereka. “Anakmu berasal dari kamu, tapi ia bukan milikmu”, ujar Kahlil Gibran suatu ketika. Sepertinya sang ayah dalam film Dogtooth hanya tahu tentang Frank Sinatra, ia belum pernah dengar nama Kahlil Gibran.
Makbul Mubarak
Penikmat Film
WATCH TRAILER