Don’t Move adalah film aksi thriller arahan duo sineas, Adam Schindler dan Brian Netto. Sineas kawakan, Sam Raimi turut memproduseri film rilisan Netflix ini. Film ini dibintangi beberapa nama nonbintang, sebut saja Kelsey Asbille, Finn Wittrock, Moray Treadwell, dan Daniel Francis. Bermodal nama besar sang produser, mampukah Don’t Move memberikan suntikan baru bagi genre thriller?

Iris (Asbille) adalah seorang ibu muda yang trauma berat akibat kematian putranya. Ia bermaksud mengakhiri hidupnya di lokasi peristiwa kecelakaan putranya di satu tebing di kawasan taman nasional. Sesaat sebelum melompat, seorang pria muncul dan berhasil mencegah niat Iris untuk melompat. Namun sesampainya di lokasi parkir, pria tersebut mendadak membekuk Iris dan menyuntikkannya dengan serum yang setelah 20 menit membuat tubuh seseorang menjadi lumpuh. Iris yang berhasil lari lalu berusaha menjauh dari sang pria sebelum serum tersebut membuatnya lumpuh sama sekali.

Plotnya memang mengingatkan betul pada film-film klasik garapan sang maestro thriller, Alfred Hitchcock. Bahkan opening credit “ala” Hitchcock pun muncul setelah filmnya berjalan hingga 15 menit. Kisahnya juga banyak mengingatkan thriller senada modern, sebut saja Vacancy, Breakdown, Derailed, Panic Room, Flight Plan hingga beberapa film rilisan streaming pada masa pandemi lalu. Inti kisahnya sama, yakni sang protagonis terjebak dalam situasi yang mengancam nyawa atau orang terdekat mereka dan dibatasi ruang terbatas atau bisa deadline waktu untuk menambah sisi ketegangannya.

Plot Don’t Move mulai mengalir intens sejak titik balik cerita di awal (opening credits). Satu-satunya eksposisi cerita yang kita pahami betul adalah situasi mental Iris akibat kehilangan putranya, tanpa banyak info tentang lainnya. Ini lebih dari cukup untuk membuat kisahnya mengalir, di mana poin besarnya adalah survival. Permainan “cat & mouse” tersaji dengan menegangkan dan makin bertambah intens ketika kisahnya berjalan. Klimaksnya jauh dari kata mengecewakan serta mampu memberi pukulan akhir yang menegaskan pesannya.

Baca Juga  Squid Game

Walau bukan yang terbaik, Don’t Move adalah sebuah thriller minimalis ala Hitchcock dengan premis unik dan ketegangan yang intens. Film dengan pesan implisit senada sudah sangat banyak. Don’t Move sedikit banyak persis sama dengan Gravity garapan Alfonso Cuarón. Masalah dan konflik dalam plotnya adalah sebuah pelajaran besar bagi sang protagonis untuk bisa move on dari masalahnya dan lebih menghargai hidup. Walau subteksnya bukan sesuatu yang baru, namun masih menyenangkan melihat bagaimana para sineas bermain-main dengan kemasan naratif serta estetiknya untuk menyampaikan pesannya tanpa memaksa. Don’t Move adalah terhitung pencapaian baik untuk level platform streaming (nonbioskop).

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaMy Annoying Brother
Artikel BerikutnyaSang Pengadil
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses