Dunkirk rasanya adalah salah satu film yang paling dinanti tahun ini oleh penggemar film sejati, karena satu faktornya, Christopher Nolan. Setelah bermain-main dengan alam bawah sadar serta perjalanan intergalaksi, kini sang maestro merambah satu genre yang belum pernah dibuatnya, yakni perang. Dunkirk diadaptasi dari kisah nyata, Battle of Dunkirk, yang merupakan salah satu momen penting dalam Perang Dunia Kedua yang berlangsung selama kurang lebih sepekan. Film ini dibintangi oleh sederetan kasting reguler sang sineas, seperti Tom Hardy dan Cilian Murphy, serta pula Kenneth Branagh, Mark Rylance, hingga aktor muda Fionn Whitehead.
Sekitar 400.000 pasukan sekutu terjebak di pantai wilayah Dunkirk, Perancis Utara. Selama sepekan mereka harus bertahan dari kepungan pasukan Jerman sambil menanti pertolongan dari seberang lautan sana. Kisahnya diambil dari tiga perspektif yang berbeda, yakni seorang prajurit Inggris, seorang nelayan dan putranya, serta seorang pilot pesawat tempur sekutu. Sang prajurit Inggris harus bertahan hidup dalam situasi yang sulit, lalu sang nelayan dan putranya berusaha menyeberangi lautan untuk menolong pasukan sekutu, dan sang pilot bersama rekan-rekannya berusaha mencegah pesawat udara musuh untuk membombardir pasukan sekutu.
Untuk menikmati film-film Nolan, seperti biasa, memang butuh perhatian khusus serta fokus yang lebih. Sejak beberapa menit film bermula, Nolan telah mengindikasikan kisahnya melalui tiga segmen berbeda yang disajikan secara bergantian. Tampak rumit memang, terlebih sang sineas menyajikan masing-masing dalam durasi cerita yang berbeda, yakni 1 minggu, 1 hari, dan 1 jam. Nolan kini kembali ke gaya lamanya, bermain-main melalui dimensi ruang dan waktu pada tiga segmen cerita ini dengan mengisahkannya melalui struktur cerita yang tak lazim (nonlinear). Belum pernah sebuah film perang menuturkan kisahnya dengan kemasan seperti ini sebelumnya. Nolan dengan kepiawaiannya menyajikan ketiga segmen ini secara bergantian dengan intensitas tinggi melalui teknik crosscutting (teknik favoritnya) sepanjang filmnya. Tampak sekali sang sineas menikmati ini semua, seperti apa yang sudah sering dilakukan dalam film-film sebelumnya. Dari sisi ini, saya pun menikmati semuanya dengan perasaan takjub.
Problem kecil filmnya adalah lemahnya latar belakang, yang hanya dijelaskan sekilas melalui teks. Plot filmnya masuk dalam situasi aksi serta momen yang serba cepat. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah jika sepanjang filmnya, ada cukup waktu untuk bisa masuk ke dalam tokoh-tokohnya. Hal ini terkait erat dengan kemasan filmnya yang disajikan begitu cepat secara bergantian sehingga penonton (setidaknya saya) tidak cukup akrab dengan satu tokoh pun. Momen dramatik menjadi seolah berjalan datar dan dingin. Seperti satu momen di dalam kapal boat, ketika rekan putra sang ayah mengalami kecelakaan kecil. Entah mengapa situasi dramatik ini tidak mengena secara emosional, bahkan sepanjang filmnya. Setelah satu jam, rasa lelah dan bosan mulai menghampiri, dengan segala upaya untuk bisa masuk secara emosional ke dalam filmnya menjadi terasa amat sulit. Saya menanti sebuah kejutan di akhir yang bisa membuat semua kerumitan ini menjadi tampak sederhana. Hal ini tidak pernah terjadi.
Sang maestro mengabadikan salah satu momen penting bersejarah dalam Perang Dunia II dengan gayanya yang khas serta pencapaian teknis yang sangat berkelas, namun kemasan cerita justru cenderung menjauhkan cerita dari penonton. Tak ada komentar soal pencapaian teknis, baik aspek sinematografi, artistik, hingga suara, semuanya disajikan dengan amat sangat istimewa. Ilustrasi musik dari Hans Zimmer walau tak terasa orisinal, namun mampu mengintimidasi sepanjang filmnya. Sayang sekali, mungkin jika saya menontonnya di bioskop IMAX, pasti semua ini akan terasa lebih berbeda. Tercatat film ini adalah salah satu film terpendek Nolan, yakni 106 menit, dan rata-rata film sang sineas sebelumnya lebih dari 2 jam. Jujur saja, waktu sependek ini terasa sangat panjang dan melelahkan, namun semua terbayar dengan visualisasi satu momen yang sangat indah dan menawan.
WATCH TRAILER