Dunkirk (2017)

106 min|Action, Drama, History|21 Jul 2017
7.8Rating: 7.8 / 10 from 754,432 usersMetascore: 94
Allied soldiers from Belgium, the British Commonwealth and Empire, and France are surrounded by the German Army and evacuated during a fierce battle in World War II.

Dunkirk rasanya adalah salah satu film yang paling dinanti tahun ini oleh penggemar film sejati, karena satu faktornya, Christopher Nolan. Setelah bermain-main dengan alam bawah sadar serta perjalanan intergalaksi, kini sang maestro merambah satu genre yang belum pernah dibuatnya, yakni perang. Dunkirk diadaptasi dari kisah nyata, Battle of Dunkirk, yang merupakan salah satu momen penting dalam Perang Dunia Kedua yang berlangsung selama kurang lebih sepekan. Film ini dibintangi oleh sederetan kasting reguler sang sineas, seperti Tom Hardy dan Cilian Murphy, serta pula Kenneth Branagh, Mark Rylance, hingga aktor muda Fionn Whitehead.

Sekitar 400.000 pasukan sekutu terjebak di pantai wilayah Dunkirk, Perancis Utara. Selama sepekan mereka harus bertahan dari kepungan pasukan Jerman sambil menanti pertolongan dari seberang lautan sana. Kisahnya diambil dari tiga perspektif yang berbeda, yakni seorang prajurit Inggris, seorang nelayan dan putranya, serta seorang pilot pesawat tempur sekutu. Sang prajurit Inggris harus bertahan hidup dalam situasi yang sulit, lalu sang nelayan dan putranya berusaha menyeberangi lautan untuk menolong pasukan sekutu, dan sang pilot bersama rekan-rekannya berusaha mencegah pesawat udara musuh untuk membombardir pasukan sekutu.

Untuk menikmati film-film Nolan, seperti biasa, memang butuh perhatian khusus serta fokus yang lebih. Sejak beberapa menit film bermula, Nolan telah mengindikasikan kisahnya melalui tiga segmen berbeda yang disajikan secara bergantian. Tampak rumit memang, terlebih sang sineas menyajikan masing-masing dalam durasi cerita yang berbeda, yakni 1 minggu, 1 hari, dan 1 jam. Nolan kini kembali ke gaya lamanya, bermain-main melalui dimensi ruang dan waktu pada tiga segmen cerita ini dengan mengisahkannya melalui struktur cerita yang tak lazim (nonlinear). Belum pernah sebuah film perang menuturkan kisahnya dengan kemasan seperti ini sebelumnya. Nolan dengan kepiawaiannya menyajikan ketiga segmen ini secara bergantian dengan intensitas tinggi melalui teknik crosscutting (teknik favoritnya) sepanjang filmnya. Tampak sekali sang sineas menikmati ini semua, seperti apa yang sudah sering dilakukan dalam film-film sebelumnya. Dari sisi ini, saya pun menikmati semuanya dengan perasaan takjub.

Baca Juga  Resident Evil: Retribution

Problem kecil filmnya adalah lemahnya latar belakang, yang hanya dijelaskan sekilas melalui teks. Plot filmnya masuk dalam situasi aksi serta momen yang serba cepat. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah jika sepanjang filmnya, ada cukup waktu untuk bisa masuk ke dalam tokoh-tokohnya. Hal ini terkait erat dengan kemasan filmnya yang disajikan begitu cepat secara bergantian sehingga penonton (setidaknya saya) tidak cukup akrab dengan satu tokoh pun. Momen dramatik menjadi seolah berjalan datar dan dingin. Seperti satu momen di dalam kapal boat, ketika rekan putra sang ayah mengalami kecelakaan kecil. Entah mengapa situasi dramatik ini tidak mengena secara emosional, bahkan sepanjang filmnya. Setelah satu jam, rasa lelah dan bosan mulai menghampiri, dengan segala upaya untuk bisa masuk secara emosional ke dalam filmnya menjadi terasa amat sulit. Saya menanti sebuah kejutan di akhir yang bisa membuat semua kerumitan ini menjadi tampak sederhana. Hal ini tidak pernah terjadi.

Sang maestro mengabadikan salah satu momen penting bersejarah dalam Perang Dunia II dengan gayanya yang khas serta pencapaian teknis yang sangat berkelas, namun kemasan cerita justru cenderung menjauhkan cerita dari penonton. Tak ada komentar soal pencapaian teknis, baik aspek sinematografi, artistik, hingga suara, semuanya disajikan dengan amat sangat istimewa. Ilustrasi musik dari Hans Zimmer walau tak terasa orisinal, namun mampu mengintimidasi sepanjang filmnya. Sayang sekali, mungkin jika saya menontonnya di bioskop IMAX, pasti semua ini akan terasa lebih berbeda. Tercatat film ini adalah salah satu film terpendek Nolan, yakni 106 menit, dan rata-rata film sang sineas sebelumnya lebih dari 2 jam. Jujur saja, waktu sependek ini terasa sangat panjang dan melelahkan, namun semua terbayar dengan visualisasi satu momen yang sangat indah dan menawan.
WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaFilosofi Kopi 2: Ben & Jody
Artikel Berikutnya“After Taste” Dunkirk
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.