Duty After School adalah seri sci-fi aksi thriller arahan Seong Yong-il yang diadaptasi dari webtoon populer di platform Naver Webtoon. Platform ini sebelumnya juga menjadi sumber adaptasi film serial zombi, All of Us Are Dead (2022) yang dirilis Netflix. Seri ini dibintangi oleh sederetan bintang-bintang muda, antara lain Shin Hyun-soo, Lee Soon-won, Im Se-mi, Kwon Eun-bin, Kim Ki-hae, Kim Min-chul, Kim So-hee, Kim Su-gyeom, Kim Jung-lan, dan Moon Sang-min. Seri ini bertotal 10 episode dengan rata-rata berdurasi 70 menit. Tidak seperti subgenre zombi, tak banyak film sci-fi Korea Selatan yang berkualitas tinggi. Siapa mengira seri yang satu ini rupanya mampu berbicara lebih.

Umat manusia kedatangan jutaan obyek asing yang memenuhi seluruh planet Bumi. Benda asing tersebut adalah bola-bola ungu berukuran sekitar 3 meter yang melayang dan menyebar di langit seluruh permukaan bumi. Bola-bola tersebut yang awalnya dianggap sebagai tanda invasi rupanya hanya diam dan tak bergerak sedikit pun. Manusia telah melakukan segala upaya, namun, dari mana dan mengapa benda tersebut berada di atas sana masih menjadi misteri.

Setahun kemudian, sebuah bola untuk pertama kalinya jatuh ke bumi di wilayah Korea Selatan. Bola tersebut ternyata berisi mahluk asing yang membantai satu kompi tentara dengan begitu mudahnya. Melihat ancaman global di depan mata, otoritas pemerintah membuat kebijakan baru menyoal wajib militer yang mengharuskan siswa SMU kelas 3 untuk menjalani pelatihan militer sebagai cadangan tentara nasional.

Fokus kisah seri ini adalah para siswa kelas 3-2 SMU Seongjin. Dengan ragam latar intelektual, sikap, dan polah siswa dan siswi kelas ini, mereka dipaksa untuk menghadapi situasi di luar kelaziman dengan imbalan poin bagi ujian CSAT (College Scholastic Ability Test). Ketika ancaman itu pun datang ke sekolah mereka, dengan dikomandoi Letnan Lee Chun-ho (Hyun-soo), mereka harus saling bahu membahu untuk bertahan hidup melawan para alien.

Plot seri yang sepertinya terlihat sebagai tipikal invasi alien ini, rupanya tidak seperti yang kita pikir. Terdapat kritik sosial yang tajam di balik kisahnya. Namun, ada baiknya kita melihat penyajian kisahnya secara umum terlebih dulu sebelum bicara soal ini.

Mirip All of Us Is Dead yang sama-sama berlatar di sekolah dan usia protagonis yang sama, dalam banyak momennya nyaris kisahnya berjalan tanpa henti dengan tempo yang cepat. Satu persatu dengan porsi yang relatif imbang, tiap karakter didekatkan kepada penonton dengan sosok Kim Chi (perekam video) sebagai pemandu cerita bagi penonton. Dua sosok kuat di antara para siswa, sang letnan dan asistennya, Won-bin, muncul secara natural seiring berjalannya cerita.

Kisahnya pun kental dengan sisi manusiawi dan lekat dengan polah remaja yang kerap jauh dari santun dan menanggapi apa pun sebagai lelucon dalam situasi genting sekali pun. Selipan roman dan drama menjadikan sisi humanisnya terasa lebih kuat. Akibat situasi dan terus menerus tinggal bersama-sama, ikatan persahabatan pun makin menguat, termasuk pula dengan sang komandan. Ibarat mereka menjadi keluarga kecil dan suasana hangat menghampiri banyak adegannya. Namun, seringkali pula sisi drama disajikan berlebihan dan memaksa yang sudah menjadi sifat alamiah tipikal seri Korea macam ini. Kadang nalar dan logika seolah dibuang begitu saja.

Baca Juga  Beef

Ketika bola misterius jatuh ke tanah untuk pertama kalinya, benda tersebut diperlakukan dengan ngawur dan gegabah melalui aksi-aksi frontal sang pimpinan militer (entah pangkatnya apa) yang tak punya wibawa sama sekali. Sang pimpinan pula tak menggunakan otaknya ketika mengirim pasukan anak-anak SMU yang sama sekali belum berpengalaman ke medan perang. Sikap orang dewasa rupanya tak jauh berbeda dengan para remajanya. Dalam situasi hidup atau mati segenting ini, mereka malah justru berdebat poin untuk CSAT dan masa depan mereka. Ini tentu tak masuk akal. Di balik semuanya, secara brilian sang sineas dan penulis naskah (dan webtoon)-nya menggunakan segala keabsurdan ini untuk mengirim pesan kisahnya dengan sangat efektif dan gaya berkelas.

Bagi siswa SMU di Korea selatan, nilai CSAT adalah segalanya bagi mereka. Ujian yang konon berlangsung hingga 8 jam ini tidak hanya menentukan tempat kuliah, namun kelak pekerjaaan, jabatan, status, yang ringkasnya adalah semua masa depan mereka. Ibarat, jika dunia kiamat sekalipun, nilai CSAT masih lebih penting dari segalanya hingga mengabaikan nalar dan kewarasan. Serial ini menggambarkan situasi di atas dengan sangat brilian. CSAT ibarat bom waktu (bola alien) yang setiap saat bisa jatuh menghancurkan semua sendi kehidupan. Segala kekonyolan dan hilangnya common sense para tokohnya adalah karena faktor ini semata. Orang berpikiran waras justru seolah menjadi sosok jahat yang memiliki agenda terselubung, padahal mereka sesungguhnya hanya ingin bertahan hidup. Episode final dengan segala kebrutalannya dan sikap protagonis pada penghujung seri memberikan penjelasan yang demikian gamblang terhadap pesan yang dimaksud. Ada nilai-nilai luhur yang lebih patut diperjuangkan ketimbang materi, status, ketenaran, dan lainnya.

Seri Duty After School adalah sebuah pembuktian kuat, bahwa Korea Selatan mampu memproduksi film sci-fi thriller berkualitas tinggi dengan poin subteks yang kuat. Untuk segala pencapaian teknisnya, tak banyak lagi yang perlu dibincangkan. Pembuat filmnya mampu mengemas adegan aksinya dengan sangat memadai dengan sisi ketegangan hingga misteri. Pun demikian para kasting mudanya yang bermain menawan dan natural. Menonton seri ini banyak mengingatkan pada dua film sci-fi klasik barat masterpiece, Invasion of Body Snatchers (1956) dan The Day the Earth Stood Still (1951), yang sama-sama memiliki subteks kuat. Di luar sisi melodrama ala Korea yang kadang berlebihan, Duty After School dengan kritik sosialnya telah selevel dengan film-film klasik tersebut.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
85 %
Artikel SebelumnyaThe Quiet Girl
Artikel BerikutnyaThe Little Mermaid
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.