Eagle Eye (2008)

118 min|Action, Mystery, Thriller|26 Sep 2008
6.6Rating: 6.6 / 10 from 196,370 usersMetascore: 43
Jerry and Rachel are two strangers thrown together by a mysterious phone call from a woman they have never met. Threatening their lives and family, she pushes Jerry and Rachel into a series of increasingly dangerous situations, us…

Eagle Eye (2008) merupakan film aksi-thriller kolaborasi kedua antara sineas D.J. Caruso dengan bintang muda naik daun, Shia LaBeouf setelah tahun lalu mereka sukses dengan Disturbia (2007). LaBeouf kali ini didampingi beberapa bintang-bintang seperti, Billy Bob Thornton, Michele Monaghan, Rosario Dawson, serta Julianne Moore.

Jerry Shaw (LeBeouf) adalah seorang pemuda biasa yang bekerja sebagai penjual mesin fotokopi. Hidup Jerry mendadak berubah sesaat setelah kematian saudara kembarnya, Ethan Shaw. Jerry mendapatkan transfer uang dalam jumlah besar, lalu di apartemennya terkirim sejumlah senjata serta bahan peledak hingga mendadak FBI yang diwakili agen Thomas (Thornton) menangkapnya. Dalam kebingungan, Jerry mendapat telepon dari seorang wanita yang memaksanya untuk menuruti perintahnya jika ia ingin selamat. Jerry terpaksa menurut, ia kabur dari FBI, hingga akhirnya bertemu dengan seorang ibu muda, Rachel (Monaghan) yang ternyata juga mendapat paksaan dari wanita yang sama. Mereka berdua tanpa alasan dan tujuan jelas, lari dari satu tempat ke tempat lain, dan anehnya mereka selalu mendapatkan bantuan dari orang-orang dan benda-benda di sekitar mereka. Belakangan diketahui, jika wanita yang menghubungi mereka ternyata adalah sebuah komputer super canggih proyek pemerintah bernama ARIA (Moore) yang lepas kendali.

Ide tentang komputer yang lepas kendali sudah bukan hal yang baru dalam dunia sinema. Sejak 2001: Space Odessey, seri Terminator, The Matrix, I Robot, Wall.E, serta puluhan film lainnya menyinggung hal yang sama. Lantas apa yang baru dalam Eagle Eye? Nyaris tak ada, dan boleh dibilang semua ceritanya hanya merupakan kombinasi dari plot-plot film yang sudah ada. Jerry dan Rachel yang mematuhi perintah ARIA via ponsel banyak mengingatkan kita pada The Matrix. ARIA yang mampu mengendalikan semua benda-benda yang dijalankan menggunakan komputer banyak mirip dengan Terminator 3. Lalu sekuen pembunuhan presiden di gedung Capitol pada akhir cerita mengingatkan pada film klasik, The Manchurian Candidate. Serta masih banyak lagi kemiripan cerita dengan film lainnya. Seperti telah saya katakan diatas, tak ada yang baru sama sekali.

Baca Juga  Longlegs

Plot filmnya sendiri berjalan dengan tempo sangat cepat dari awal hingga akhir, nyaris tidak memberi kesempatan bagi kita untuk sekedar mengambil nafas. Plotnya juga terasa begitu memaksa untuk bisa menampilkan adegan-adegan aksinya yang memang lumayan seru. Rupanya ARIA lebih menyukai Jerry dan Rachel mengambil jalan anarkis untuk sampai ke tujuannya ketimbang jalan damai. Bicara logika, ARIA yang mampu mendengarkan informasi apa saja melalui benda elektronis walau masih masuk akal tapi jelas sangat berlebihan. Mengapa tidak sekalian saja ARIA dibuat mampu membaca pikiran manusia? ARIA juga rupanya memiliki ego dan cita rasa yang tinggi, hingga untuk membunuh seorang presiden pun harus bersusah payah menggunakan cara elegan, rumit, dan panjang seperti ini. Ini merupakan pertanyaan mendasar: Mengapa butuh Jerry dan Rachel jika ARIA bisa melakukannya sendiri? Jika ARIA memang butuh Jerry dan Rachel, kenapa tidak mengenyahkan para agen yang mengejar mereka sejak awal? Mengapa semua itu harus bersusah payah jika tujuannya sudah jelas?

Di luar itu semua, Eagle Eye mampu membangun dan menjaga unsur ketegangan dengan baik sejak awal hingga akhir. Untuk film aksi sejenis, lazimnya setelah separuh cerita, plot mulai kedodoran namun film ini tidak. Hingga sekuen klimaks pun alur ceritanya masih penuh ketegangan. Beberapa adegan aksi pun patut kita catat, seperti aksi kejar-mengejar di rel berjalan ruang bagasi airport, serta aksi kejar-mengejar seru di terowongan yang melibatkan sebuah pesawat tempur. LeBeouf seperti dalam Disturbia dan Transformers, memang sangat pas berperan sebagai karakter pemuda biasa yang terjebak dalam situasi luar biasa. Monaghan pun bermain baik dan mampu membangun ikatan emosional dengan pasangan mainnya sekalipun berpredikat seorang ibu. Thornton bermain jauh dibawah levelnya dan Dawson sepertinya terlalu muda untuk perannya. Sekedar untuk hiburan, Eagle Eye merupakan tontonan yang pas, tidak lebih.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaThe Great Dude, Ten Years After
Artikel BerikutnyaKetidakberdayaan Wanita dalam Perempuan Punya Cerita
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.