Eagle Eye (2008) merupakan film aksi-thriller kolaborasi kedua antara sineas D.J. Caruso dengan bintang muda naik daun, Shia LaBeouf setelah tahun lalu mereka sukses dengan Disturbia (2007). LaBeouf kali ini didampingi beberapa bintang-bintang seperti, Billy Bob Thornton, Michele Monaghan, Rosario Dawson, serta Julianne Moore.
Jerry Shaw (LeBeouf) adalah seorang pemuda biasa yang bekerja sebagai penjual mesin fotokopi. Hidup Jerry mendadak berubah sesaat setelah kematian saudara kembarnya, Ethan Shaw. Jerry mendapatkan transfer uang dalam jumlah besar, lalu di apartemennya terkirim sejumlah senjata serta bahan peledak hingga mendadak FBI yang diwakili agen Thomas (Thornton) menangkapnya. Dalam kebingungan, Jerry mendapat telepon dari seorang wanita yang memaksanya untuk menuruti perintahnya jika ia ingin selamat. Jerry terpaksa menurut, ia kabur dari FBI, hingga akhirnya bertemu dengan seorang ibu muda, Rachel (Monaghan) yang ternyata juga mendapat paksaan dari wanita yang sama. Mereka berdua tanpa alasan dan tujuan jelas, lari dari satu tempat ke tempat lain, dan anehnya mereka selalu mendapatkan bantuan dari orang-orang dan benda-benda di sekitar mereka. Belakangan diketahui, jika wanita yang menghubungi mereka ternyata adalah sebuah komputer super canggih proyek pemerintah bernama ARIA (Moore) yang lepas kendali.
Ide tentang komputer yang lepas kendali sudah bukan hal yang baru dalam dunia sinema. Sejak 2001: Space Odessey, seri Terminator, The Matrix, I Robot, Wall.E, serta puluhan film lainnya menyinggung hal yang sama. Lantas apa yang baru dalam Eagle Eye? Nyaris tak ada, dan boleh dibilang semua ceritanya hanya merupakan kombinasi dari plot-plot film yang sudah ada. Jerry dan Rachel yang mematuhi perintah ARIA via ponsel banyak mengingatkan kita pada The Matrix. ARIA yang mampu mengendalikan semua benda-benda yang dijalankan menggunakan komputer banyak mirip dengan Terminator 3. Lalu sekuen pembunuhan presiden di gedung Capitol pada akhir cerita mengingatkan pada film klasik, The Manchurian Candidate. Serta masih banyak lagi kemiripan cerita dengan film lainnya. Seperti telah saya katakan diatas, tak ada yang baru sama sekali.
Plot filmnya sendiri berjalan dengan tempo sangat cepat dari awal hingga akhir, nyaris tidak memberi kesempatan bagi kita untuk sekedar mengambil nafas. Plotnya juga terasa begitu memaksa untuk bisa menampilkan adegan-adegan aksinya yang memang lumayan seru. Rupanya ARIA lebih menyukai Jerry dan Rachel mengambil jalan anarkis untuk sampai ke tujuannya ketimbang jalan damai. Bicara logika, ARIA yang mampu mendengarkan informasi apa saja melalui benda elektronis walau masih masuk akal tapi jelas sangat berlebihan. Mengapa tidak sekalian saja ARIA dibuat mampu membaca pikiran manusia? ARIA juga rupanya memiliki ego dan cita rasa yang tinggi, hingga untuk membunuh seorang presiden pun harus bersusah payah menggunakan cara elegan, rumit, dan panjang seperti ini. Ini merupakan pertanyaan mendasar: Mengapa butuh Jerry dan Rachel jika ARIA bisa melakukannya sendiri? Jika ARIA memang butuh Jerry dan Rachel, kenapa tidak mengenyahkan para agen yang mengejar mereka sejak awal? Mengapa semua itu harus bersusah payah jika tujuannya sudah jelas?
Di luar itu semua, Eagle Eye mampu membangun dan menjaga unsur ketegangan dengan baik sejak awal hingga akhir. Untuk film aksi sejenis, lazimnya setelah separuh cerita, plot mulai kedodoran namun film ini tidak. Hingga sekuen klimaks pun alur ceritanya masih penuh ketegangan. Beberapa adegan aksi pun patut kita catat, seperti aksi kejar-mengejar di rel berjalan ruang bagasi airport, serta aksi kejar-mengejar seru di terowongan yang melibatkan sebuah pesawat tempur. LeBeouf seperti dalam Disturbia dan Transformers, memang sangat pas berperan sebagai karakter pemuda biasa yang terjebak dalam situasi luar biasa. Monaghan pun bermain baik dan mampu membangun ikatan emosional dengan pasangan mainnya sekalipun berpredikat seorang ibu. Thornton bermain jauh dibawah levelnya dan Dawson sepertinya terlalu muda untuk perannya. Sekedar untuk hiburan, Eagle Eye merupakan tontonan yang pas, tidak lebih.
WATCH TRAILER