elio

Elio adalah film animasi sci-fi produksi Pixar Animation Studios yang diarahkan trio sineas, Madeline Sharafian, Domee Shi, serta Adrian Molina. Kisahnya diinspirasi dari masa cilik Molina yang besar di lingkungan militer. Film ini diisi suara oleh Yonas Kibreab, Zoe Saldaña, Remy Edgerly, Brandon Moon, Brad Garrett, serta Jameela Jamil. Bermodal bujet USD 150 juta, mampukah Elio mencapai kualitas produksi film-film studionya yang kerap dianggap sebagai masterpiece?

Elio Solis (Kibreab) adalah bocah yatim piatu yang diadopsi bibi mudanya, Olga Solis (Saldaña) yang bekerja di stasiun kontrol satelit milik Departemen Pertahanan. Elio terobsesi dengan keberadaan makhluk asing dan berharap bisa diculik oleh alien karena merasa dirinya tidak diterima di lingkungannya, baik bibi maupun rekan-rekan di sekolah. Suatu ketika, stasiun kontrol mendapat respon balik dari sebuah satelit yang hilang puluhan tahun lalu. Elio secara diam-diam membalas dan tanpa disadarinya ini bakal membawanya ke sebuah petualangan yang menjadi impiannya.

Studio Pixar telah kita kenal dengan tema keluarga dan persahabatan. Kali ini dengan formula andalannya, Elio membungkus dengan kemasan sci-fi yang unik melalui set berlatar masa kini. Naskahnya dikembangkan menggunakan isu hangat yang sejak lama menjadi pertanyaan besar para pemburu fenomena langit dan UFO. Apakah kita sendirian di alam semesta raya ini? Secara cerdik isu ini dieksplorasi dengan begitu segar untuk membungkus tema keluarga dan persahabatan yang hangat. Ini bukan untuk kali pertama Studio Pixar melakukannya dan mengeksekusi dengan sempurna, sebut saja WALL.E yang menyelipkan isu lingkungan.

Elio menawarkan satu cerita berkelas yang kembali menyajikan dunia dan belasan karakter unik serta menyegarkan. Kita dibawa ke Communiverse yang penuh warna dan beragam karakter alien, dari OOOOO sang komputer mobile, para dubes planet, hingga Lord Grigon dan putra ciliknya, Glordon. Sosok Grigon adalah satu karakter yang paling mencuri perhatian karena polahnya yang temperamental dan brutal. Grigon boleh dibilang adalah satu sosok antagonis Pixar paling menarik sejak Zurg dalam seri Toy Story. Dialognya selalu eksplosif dan aksi-aksinya yang konyol mampu menghidupkan suasana seisi bioskop.

Baca Juga  Overlord

Satu kelemahan kecil terasa pada eksposisi di awal yang terasa terburu-buru dan butuh waktu untuk bisa masuk dan bersimpati dengan tokoh-tokoh utamanya. Kita begitu gagap menghadapi dua protagonis utamanya karena latar Elio dan orang tuanya sama sekali tidak dijelaskan. Situasinya mirip dengan sosok Lilo dan Nani di Lilo & Stitch yang rilis belum lama ini. Namun, berjalannya waktu setelah titik tengah cerita, kisahnya mulai unjuk kekuatan melalui topik keluarga dan persahabatan yang menjadi premisnya. Aksi-aksi seru dan selipan humor berpadu sempurna dengan segmen klimaks yang amat menyentuh. Walau formula plotnya tidak lagi baru, Studio Pixar lagi-lagi mampu menekelnya dengan cara berkelas.

Walau tergesa-gesa di awal, melalui keunikan kisah dan pesona visualnya, Elio akhirnya mampu mencapai level kualitas yang menjadi standar film-film produksi Pixar. Kualitas gambarnya terasa kini jauh berbeda dengan film-film Pixar sebelumnya yang begitu nyaman dan menyejukkan di mata. Walau bukan yang terbaik, Elio nyaris sejajar dengan film-film masterpiece produksi studionya, sebut saja Toy Story 2, Up, Ratatouille, Inside Out, dan tentu saja Wall.E. Sejauh ini, Studio Pixar masih yang terdepan dalam film-film animasi berkualitas tinggi, yang dibayangi ketat oleh Walt Disney Animation serta Dreamworks Animation. Elio bakal menjadi kandidat terkuat peraih Piala Oscar untuk film animasi terbaik tahun depan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel Sebelumnya28 Years Later | REVIEW
Artikel BerikutnyaNgobrol Santai Bareng Brian Durnin Sutradara Spilt Milk
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses