exterritorial

Gelombang film thriller rupanya masih melaju kencang. Setelah Carry-on, The Cleaner, Drop, G20, hingga Bullet Train Explosion yang rilis belakangan, kini Netflix merilis Exterritorial. Film produksi Jerman ini digarap oleh Christian Zübert dengan dibintangi oleh Jeanne Goursaud, Dougray Scott, Lera Abova, serta Kayode Akinyemi. Akankah film ini mampu mengimbangi tren bagus genrenya?

Sara Wulf (Goursaud) adalah eks pasukan khusus yang memiliki trauma berkepanjangan akibat misi militer yang berujung mengenaskan. Suatu hari, ia dan putranya, Josh, pergi ke konsulat AS untuk mengurus visa pekerjaan. Josh yang rewel karena antrian panjang, akhirnya ditinggal sang ibu di ruang bermain. Namun hanya berselang sesaat, Sara mendapati sang putra tidak ada dalam ruangan. Sara pun panik dan pihak konsulat membantu mencari putranya, namun tanpa hasil. Tak lama, pihak kedutaan mendapati bukti melalui CCTV bahwa Sara hanya seorang diri ke konsulat dan gangguan mental makin menyudutkannya. Sara yang mulai terusik kewarasannya, dengan caranya sendiri mencoba untuk menemukan Josh tanpa berharap bantuan dari luar.

Kisah thriller senada jelas banyak mengingatkan pada plot Lady Vanishes (1938) arahan Alfred Hitchcock, serta adaptasi lepasnya, Flightplan (2005) yang dibintangi Jodie Foster. Alih-alih berlokasi di kereta api dan pesawat komersial, kini cerita berpindah ke kantor konsulat AS di Jerman. Entah, apakah naskahnya merujuk pada sumber yang sama atau ini hanya kebetulan? Film thriller Breakdown (1997) yang dibintangi Kurt Russel juga memiliki kisah mirip walau temanya adalah murni kasus penculikan. Jika dibandingkan dengan film-film di atas, Exterritorial terasa inferior.

Exterritorial mengawali kisahnya melalui “trauma” klise sang protagonis yang ini tampak jelas bakal digunakan untuk menyokong premisnya. Benar saja, gangguan psikologis Sara membuat penonton pun sempat terbawa dalam keraguan, apakah Josh benar-benar eksis? Sayangnya, naskahnya kurang mengoptimalkan motif ini karena kita seketika itu pula justru diyakinkan bahwa ini adalah sebuah jebakan. Kemunculan sosok Kira juga makin membuat rumit plotnya dan kebetulan demi kebetulan pun membuat logika kisahnya terlempar jauh-jauh.

Baca Juga  Aquaman and the Lost Kingdom

Walau pada akhirnya, semua pertanyaan terjawab, namun secara keseluruhan, naskahnya telat menutup lubang plot yang menganga sepanjang kisahnya. Sedikit saja contoh. Bagaimana jika umpama Josh tetap ingin bersama ibunya ketika menunggu antrian? Dari banyak pintu, bagaimana Sara bisa kebetulan masuk ke ruang kamar yang dihuni Kira? Ketika Sara berjalan di tepian kaca luar bangunan, rasanya mustahil jika tidak ada seorang pun dalam bangunan yang melihatnya berjalan di luar gedung? Hal serupa juga ketika Sara dan Kira berjalan ke luar bangunan melalui jendela. Detil-detil kecil macam ini yang membuat kisahnya kurang meyakinkan dan menurunkan tensi ketegangan.

Premis yang kurang meyakinkan terjawab di penghujung, hanya saja, Exterritorial adalah thriller melelahkan, tanggung, serta terlihat murah, dibandingkan film-film senada yang rilis belakangan ini. Bujet produksi murah memang bukan menjadi alasan sebuah film terlihat buruk dan sudah banyak film membuktikan sebaliknya. Namun, Exterritorial dengan skala kisah dan set lokasi cerita (Konsulat AS), mestinya bisa tampil lebih meyakinkan ketimbang menggunakan ruang tangga darurat, atap bangunan, serta gudang. Bahkan ketika Sara dan Kira memasuki lorong ventilasi pun, shot-nya terlalu malas untuk masuk ke dalam sana dan dengan enaknya di-cut begitu saja memperlihatkan mereka berlarian di lorong tangga. Shot-shot macam ini jutru melemahkan ketegangan kisahnya. Dibandingkan dengan banyak film thriller yang disebut dalam ulasan ini, Exterritorial adalah salah satu yang terburuk, namun sebagai tontonan streaming masih bisa dimaklumi.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel Sebelumnya“Turang”: Sebuah Karya Sinema Kiri yang Menggugah
Artikel BerikutnyaMission: Impossible – The Final Reckoning | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses