Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald (2018)
134 min|Adventure, Family, Fantasy|16 Nov 2018
6.5Rating: 6.5 / 10 from 312,400 usersMetascore: 52
Gellert Grindelwald plans to raise an army of wizards to rule over non-magical beings. In response, Newt Scamander's former professor, Albus Dumbledore, seeks his help to stop him.

Disarankan untuk membaca ulasan film ini (Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald) di situs ini sebelumnya.

Ketika menonton Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald untuk pertama kali, kisah filmnya memang terasa membingungkan karena banyaknya subplot sehingga terkesan kompleks hingga detil cerita pasti banyak terlewat. Banyaknya tokoh baru juga semakin membuat plotnya semakin rumit, tidak seperti seri pertama. Kita hanya akrab dengan karakter-karakter yang telah muncul di seri sebelumnya. Segmen adegan dialog mendominasi sepanjang filmnya (70-80%) dan seringkali isinya pun tidak disajikan gamblang dan mengundang banyak pertanyaan baru. Penonton bisa jadi lelah dan capek dengan ini semua, terlebih kini sisi humor dan aksinya tergolong minim. Rekan di sebelah saya pun sampai terlelap.

Sisi cerita memang mendapat banyak sorotan dari para kritikus film luar. Tak kurang, situs film populer rottentomatoes.com hingga artikel ini ditulis, secara mengejutkan memberikan penilaian sebesar 40%. Sederhananya, angka ini berbunyi: dari 100 kritikus, hanya 40 saja yang menganggap film ini bagus (score di atas 60). Angka ini terhitung adalah penilaian terendah film dalam franchisewizarding worlds” (semesta Harry Potter). Situs ini memberikan konsensus, “Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald has glimmers of the magic familiar to Harry Potter fans, but the story spell isn’t as strong as earlier installments”. Sementara situs kritik film populer lainnya, yakni Metacritic memberikan penilaian 53.

Setelah menonton untuk kali kedua, semua penilaian berubah. Semua menjadi lebih jelas sebening kristal dan film ini memang memiliki tingkat kedetilan cerita yang sangat luar biasa. Satu dialog saja, atau satu aksi terlewat akibatnya fatal karena semua saling bertautan. Satu shot saja kadang bisa memberikan informasi penting. Tak disangka, film yang terlihat sangat kompleks ternyata begitu sederhana dan brilian. Sang penulis, J.K. Rowling sadar betul apa yang ia lakukan. Semesta Fantastic Beasts, kini kian bertambah besar dan skala kisahnya meluas. Tak perlu kita paham seluruh detail kisah novel Harry Potter pun, kita bisa memahami kisahnya cukup dari film-filmnya saja, tentu pula seri pertama Fantastic Beasts. Semuanya berawal dari sini. Melalui sosok Newt Scamander dan rekan-rekannya, kita disajikan sebuah petualangan panjang dalam dunia para penyihir tentang kebaikan versus kejahatan dengan segala intriknya serta potensi tema dan pesan yang jauh lebih kuat dan dalam dari seri Harry Potter.

Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald a Masterpiece? Absolutely. 100%. Berikut beberapa poin yang membuat film ini berbeda dari seri sebelumnya serta seri Harry Potter.

Credence Origin

Seri pertama telah memberikan banyak informasi tentang Newt dan rekan-rekannya, termasuk sosok Credence. Mudahnya begini, seri pertama adalah eskposisi untuk sosok Newt dan rekan-rekannya. Sementara seri kedua ini adalah eksposisi untuk sosok Credence. Dalam film sekuelnya ini, tokoh-tokoh baru banyak bermunculan, di antaranya Theseus Scamander, Leta Lestrange, Albus Dumbledore, Yusuf Kama, Nagini, hingga Gellert Grindelwald dan antek-anteknya. Walaupun sang antagonis ini sudah muncul sekilas di segmen penutup seri sebelumnya, namun kini kita benar-benar tahu sepak terjangnya.

Credence yang sepanjang kisah film ini mencari identitas dirinya, kini menjadi kunci cerita karena semua skenario yang dirancang Grinderwald adalah untuknya. “Semua (kerumitan) ini hanyalah untuk kamu”, kata Grindelward sesaat setelah Credence menyeberang ke sisi gelap pada segmen klimaks. Mengapa Credence begitu penting baginya? Grinderwald ingin kaum penyihir menguasai dunia, termasuk dunia manusia. Satu sosok yang ia anggap bisa menghalangi tujuannya hanyalah Albus Dumbledore. Credence adalah seseorang yang ia anggap mampu mengalahkan Dumbledore karena ia dan Albus tak bisa bertarung satu sama lain. Di penghujung film, akhirnya kita tahu siapa Credence sesungguhnya yang tak lain tak bukan adalah adik Dumbledore.

Semua kerumitan cerita memang hanya untuk satu sosok penting ini. Subplot Leta dan Yusuf terkait pula dengan Credence. Dalam satu perbincangan panjang di makam keluarga Lestrange, semua pertanyaan sebenarnya telah terjawab di sini. Melalui segmen kilas balik, terkuak bahwa aksi Leta kecil ketika ia menukar bayi saudara satu ayahnya (Corvus), merubah segalanya. Yusuf (Kakak Leta dari satu ibu) yang ingin membunuh Corvus karena ingin membalaskan dendam keluarganya menjadi salah sasaran karena ia mengira Credence adalah Corvus. Di penghujung adegan, Tina menanyakan Leta, siapa identitas bayi yang ia ambil, Leta pun hanya menggeleng. Kita tahu sekarang, bayi tersebut adalah Credence. Jujur, saya melewatkan banyak hal di sini karena banyak melewatkan info-info kecil di awal. Poin utama cerita tentu kita tahu arah cerita akan ke mana, namun rincian mendetil plotnya rasanya sulit untuk dipahami penonton awam bahkan kritikus sekalipun. Tumpang tindih antar subplot menjadi penyebab. Sementara kita (termasuk saya waktu pertama menonton) hanya fokus ke sosok Newt, Tina, Jacob, dan Queenie. Padahal sebenarnya mereka hanya sebagai pemantik cerita saja karena alur kisahnya disajikan melalui sudut pandang mereka.

Dumbledore & Grindelwald

Dua sosok besar dalam semesta sihir ini, Albus Dumledore dan Grindelwald adalah penyebab kausalitas alur plot dengan segala intriknya dalam seri pertama dan kedua ini. Dua sosok yang karismatik ini diperankan sangat menawan oleh dua bintang besar, Jude Law dan Johnny Depp. Khususnya Depp, dengan sikapnya yang dingin dan sangat percaya diri, ia mampu memberi nuansa mengancam sosok Grindelwald tanpa harus melakukan konfrontasi fisik. Grinderwald dalam setiap kehadirannya selalu mengintimidasi penonton bak vampir yang siap memangsa kapan saja. Senjata mematikan Grindelwald adalah bukan mantera dan sihirnya, namun adalah mulut dan lidahnya. Dengan kata-kata manisnya, ia mampu memprovokasi lawan bicaranya tanpa harus menggunakan kekerasan atau memaksa. Credence dan Queenie pun jadi korbannya. Sementara Jude Law mampu menggambarkan secara ideal sosok Dumbledore muda, melalui charm, ketenangan, rasa percaya diri, kebijaksanaan, sekaligus kegelisahannya semua tergambar di wajahnya. Dua sosok dengan karisma sebesar ini, tak ada dalam seri Harry Potter, kecuali tentu Dumbledore sendiri. Kita tentu bakal melihat keduanya lebih sering dalam seri-seri selanjutnya.

Baca Juga  Fenomena The Raid

Fantastic Beasts Vol.2

Walau inti ceritanya kini tidak terfokus pada sosok Newt Scamander, namun ia masih berperan penting dalam perkembangan cerita, dan khususnya adalah binatang-binatang magisnya. Biar bagaimana pun, judul seri ini adalah Fantastic Beasts. Walau mereka tak lagi dominan seperti halnya film pertama tapi binatang-binatang mistik ini punya peran penting dalam banyak momen ketika sang majikan tersudut. Mereka juga menjadi penyeimbang suasana melalui sisipan humor dan polah mereka yang konyol dan lucu atau bahkan kadang merusak. Tentu peran paling krusial dalam cerita film ini adalah binatang kesayangan Newt, Niffler yang mengambil benda berharga dari Grinderwald pada penghujung film. Kita pasti bakal terus melihat binatang-binatang mistik ini di seri selanjutnya dan ini yang bakal membedakan dengan kisah seri Harry Potter.

Nostalgic Moment

Tak dipungkiri, satu segmen di Hogwarts menjadi momen nostalgia para fans Harry Potter. Beberapa hal yang menjadi ikon sekolah sihir Hogwarts disajikan walau hanya sekilas, seperti hall utama dan ruang-ruang kelas. Kita bisa melihat suasana di kelas ketika Dumbledore memberi kelas sihir untuk melawan sihir gelap, lalu kelas Boggart pada kilas balik Leta. Tampak pula stadion Quidditch di kejauhan dengan para siswa yang tengah berlatih. Juga cermin gaib (mirror of erised) yang digunakan Dumbledore untuk melihat masa lalunya. Sementara di media sosial, para fans justru ramai dengan sosok McGonagall yang dianggap melanggar garis waktu yang dibuat sendiri oleh sang penulis karena banyak yang menganggap sang tokoh pada saat ini belum mengajar di Hogwarts. Sebagian menganggap Rowling melakukan blunder. Sementara para fans fanatik seri ini berspekulasi dengan banyak teori untuk membela sang penulis mereka. Bagaimana mungkin seorang penulis brilian yang telah menulis naskah film ini begitu detail dan kompleks bisa melakukan kesalahan fatal seperti ini? Mustahil.

David Yates & Visual Aspects

David Yates, sutradara langganan seri ini, rasanya memang terlahir untuk seri semesta sihir ini. Kolaborasinya bersama sang penulis, sejak seri Harry Potter, kini ia semakin menunjukkan kelasnya sebagai salah satu sineas terbaik di dunia (setidaknya menurut saya). Melalui pendekatan sisi sinematik yang kuat, Yates mampu menggambarkan suatu yang rumit menjadi sederhana, serta sebaliknya, yang sederhana jadi rumit. Tak perlu komentar soal pengadeganan karena semuanya sempurna, dari kasting, efek visual, musik, kostum, hingga setting. Segmen pembuka menunjukkan kepiawaian sang sineas mengemas adegan aksi pengejaran yang sulit menjadi terlihat mudah. Tak perlu menonton berkali-kali untuk melihat talenta jenius sang sineas. Satu kali saja cukup.

Sejak seri Harry Potter silam, Yates memang beberapa kali menggunakan shot yang punya makna tersembunyi. Namun, apa yang dilakukan dalam The Crimes of Grindelwald, rasanya tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Setidaknya dari pengamatan saya, ia melakukannya ini beberapa kali, dan saya contohkan beberapa di antaranya. Beberapa teknik sinematik yang ia gunakan, rasanya juga baru kali ini ia lakukan.

Pertama, pada adegan awal, sesaat setelah Newt bertemu pihak kementerian dan ditolak permohonan “visa”-nya, ia berdialog dengan sang kakak, Theseus, di koridor. Keduanya memiliki visi berbeda dan sang kakak selalu menasehatinya untuk ikut aturan. Dalam satu transisi shot, Yates melanggar aturan 180 derajat atau garis aksis aksi secara terang-terangan. Sejak seri pertama, Newt terbukti memang selalu bertindak di luar aturan bukan? Apa yang ia lakukan di kisah film ini, jauh melebihi apapun dari apa yang ia lakukan sebelumnya.

Kedua, pada adegan ketika Jacob dan Queenie untuk pertama kalinya datang ke rumah Newt. Dalam satu momen, Jacob berbicara kepada Newt ke arah depan dan posisi Queenie berada di belakangnya. Ketika ia berkata, “… with my angel”, ia mengarahkan tangan menunjuk ke arah sang gadis, namun Queenie tak ada di belakangnya (tertutup oleh tubuh Jacob). Aneh bukan. Tak mungkin ini salah posisi atau blocking (pergerakan)? Rasanya teknik ini baru kali ini saya temui dalam sebuah film. Maksudnya apa? Satu hal yang pasti, Queenie jelas bukan seorang “angel”, iya tidak? Setidaknya sejak awal, ini sudah memberikan gambaran bahwa kelak sang gadis akan berpindah ke sisi gelap.

Ketiga, pada adegan awal ketika Leta Lestrange memasuki hall utama Hogwarts. Tampak pada latar depan, ratusan lilin melayang di atas ruangan hall tersebut. Sesaat setelah Leta melintas ruangan, satu lilin mendadak mati. Seolah seperti ramalan, Leta pun akhirnya tewas di tangan Grindelwald pada saat pertarungan klimaks. Masih soal Leta, sesaat sebelum ia tewas, ia mengucapkan kata-kata“I love you” sambil menoleh ke arah atas, dan yang amat mengejutkan shot berikutnya adalah close up wajah Newt! Shot berikutnya memperlihatkan Theseus, sang suami, dan Newt di belakangnya. Kita tak tahu, kata-kata itu untuk siapa, namun dari penafsiran transisinya jelas, Leta berbicara pada Newt. Benar atau tidak, bisa kamu tafsirkan sendiri.

***

Saya memang melewatkan beberapa momen ketika menonton film ini pertama kali, tapi saya tahu persis jika film ini jauh dari kata buruk. Saya tidak tahu persis apa yang menjadi kriteria dan sudut pandang banyak kritikus, namun bagi saya Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald adalah film terbaik dalam semesta sinematik Harry Potter dan jauh melampaui seri pertamanya. Tak ada banyak humor dan aksi sebelumnya tapi formula baru ini dengan kompleksitas kisahnya membuat seri ini naik level. Dengan gayanya, Rowling justru menyajikan suatu kisah yang sebenarnya sederhana menjadi demikian rumit dan kompleks dengan detail cerita yang luar biasa. Sebagai penulis naskah, ia kini tentu jauh lebih leluasa untuk mengembangkan cerita sesuai visi artistiknya, berbeda dengan seri Harry Potter yang merupakan adaptasi dari novelnya. Film populer masa kini, jelas menghindari formula macam ini karena terlalu beresiko komersial. Angka sempurna buat film ini untuk keberaniannya. Pujian tinggi buat penulis dan sang sutradara. Saya tidak sabar menunggu seri film berikutnya. Apa lagi yang mau ditawarkan seri ini, baik dari segi cerita maupun dari pencapaian sinematiknya. Semoga formula yang ditawarkan lebih segar dari sebelumnya.

Artikel SebelumnyaSuzzanna: Bernapas dalam Kubur
Artikel BerikutnyaRobin Hood
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

  1. Setuju banget! Mmg kesannya alur nya slow dan membosankan. Tp menurut sy tidak ada detail yg tdk penting di film ini, semuanya bermakna. JK justru ingin menonjolkan karakter masing2 individu, dia tdk mau membuat plot cerita yg terlalu terburu2 hny demi menyenangkan penonton. Kompleks dan berkarakter, menurut sy film ini. Pdhal kl dipikir2 sy bkn penggemar HP.
    Tokoh yg paling menonjol adl sosok Dumbledor dan Grindelwald, dan sy setuju Grindelwald tampil luar biasa keren. Kehadiran nya sgt memprovokasi tanpa tll byk berkata2. Dan hubungannya yg misterius dg Dumbledor membuat ketertarikan tersendiri dr film ini.
    Sy jg ga tau knp byk kritikus yg menilai jelek pdhal menurut sy luar biasa dlm berbagai sisi.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.