Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald (2018)
134 min|Adventure, Family, Fantasy|16 Nov 2018
6.5Rating: 6.5 / 10 from 321,289 usersMetascore: 52
Gellert Grindelwald plans to raise an army of wizards to rule over non-magical beings. In response, Newt Scamander's former professor, Albus Dumbledore, seeks his help to stop him.

Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald merupakan sekuel dari seri Fantastic Beasts and Where to Find Them yang juga prekuel dari seri Harry Potter. Sang kreator, J.K. Rowling, kini masih menulis naskahnya sekaligus memproduseri filmnya. Film ini kembali dibintangi oleh Eddie Redmayne, Katherine Waterston, Dan Fogler, Alison Sudol, Ezra Miller, Zoe Kravits, Jude Law, dan Johnny Depp. Film berbujet  US$ 200 juta ini, masih pula digarap oleh David Yates yang untuk keenam kalinya mengarahkan franchise yang diistilahkan Wizarding World, sejak Harry Potter and the Order of the Phoenix.

Alkisah, beberapa lama sejak sang antagonis besar dan penyihir gelap Gellert Grindelwald ditangkap dan ditahan di Amerika. Grindelwald akhirnya berhasil melarikan diri ketika ia akan dipindahkan ke Eropa. Melihat hal ini, kepala sekolah Hogwarts, Albus Dumbledore diam-diam mengambil langkah strategis untuk mengutus Newt Scamander ke Paris dengan membawa misi rahasia untuk mencari keberadaan Credence yang ternyata masih hidup. Grinderwald diyakini tengah mengincar Credence karena kekuatan luar biasa yang tersembunyi dalam diri sang pemuda.

Setelah segmen aksi pembuka sensasional yang berujung kaburnya Grindelwald, kisahnya berawal dan mengalir dari momen ini. Belum pernah, sejak seri Harry Potter pertama, kisah seri ini begitu kompleks dan membingungkan. Penonton awam dijamin bakal kesulitan mencerna kisah filmnya, walau mungkin inti kisahnya jelas bakal mengarah ke mana. Untuk bisa memahami semua dalam sekali tonton rasanya butuh pengetahuan luas tentang novel Harry Potter juga seri pertama Fantastic Beasts. Rowling memang dikenal mampu menulis seri novelnya dengan detail dan kerumitan cerita yang luar biasa, namun sedikit mengejutkan jika ia menerapkannya dalam naskah film ini.

Separuh awal cerita, bisa jadi masih mampu dicerna, namun sisa cerita selanjutnya butuh pengamatan ekstra jeli untuk memahaminya secara utuh. Pembicaraan di areal makam di segmen akhir, jujur saja, saya tidak bisa mengerti apa yang mereka bincangkan. What the heck is going on? Semua informasi serba tumpang tindih dan rumit, bahkan untuk sejenak, saya bahkan lupa, ini siapa dan itu siapa. Oke kita tahu, semua ini berujung ke klimaks yang jelas mudah diantisipasi kelak akan mengarah ke mana. Kisah film ini dan sebelumnya, boleh dibilang hanya berfungsi sebagai eksposisi (latar cerita) untuk kisah berikutnya kelak. Tak menjamin pula, kisah film berikutnya bakal tidak mengulangi formula “eksposisi” yang sama, entahlah, mungkin menjelang klimaks serinya kelak? Hal yang tidak bisa dimengerti, mengapa harus membuatnya serumit ini? Satu hal lagi yang bagi saya cukup fatal adalah kini filmnya terlalu serius dan tanpa porsi humor yang cukup, tak seperti sebelumnya.

Baca Juga  Terminator Salvation

Tentu saja bagi fans Harry Potter, beberapa segmen adegan serta tokoh-tokohnya bakal memberikan rasa nostalgia yang luar biasa. Ketika Leta Lestrange memasuki ruang kelas dan hall utama di Hogwarts untuk mengingat masa lalunya, kita pun penikmat serinya memiliki pengalaman yang sama dengan Leta. Dengan iringan musik tema “Harry Potter” yang familiar, sangat menyenangkan kembali ke Hogwarts, walau latar waktunya masa silam. Kita disuguhkan sejenak bagaimana situasi Dumbledore mengajar di kelas, bahkan pengajar ikonik lain, Minerva McGonnagall ditampilkan sekilas. Melalui film ini, kita tahu sekarang, sekuat apa Dumbledore (setidaknya melalui dialog), dan bagaimana ia bisa menjadi penyihir yang disegani kelak di masanya.

Bicara pencapaian estetik, rasanya sudah tak perlu panjang lebar. Seperti sebelumnya, aspek efek visual (CGI), setting kota Paris masa lalu hingga kementerian sihir, hingga ilustrasi musik (James Newton Howard) disajikan begitu mengagumkan. Segmen aksi pembuka yang berlangsung di atas kota New York disajikan begitu berkelas dan menjadi segmen aksi terbaik di film ini. Sang sutradara, David Yates memang terampil mengemas adegan aksi seperti ini dan inilah alasan mengapa ia direkrut sejak lima seri terakhir. Bicara kasting, tak ada pemain yang lebih mencuri perhatian selain Jude Law dan Johnny Depp. Mereka berdua bermain karismatik sebagai dua sosok yang amat ditakuti di semesta sihir ini. Depp khususnya, sebagai protagonis utama, rasanya bermain lebih baik dari Ralph Fiennes (Voldermort). Depp membuat sang protagonis tidak hanya mampu mengintimidasi secara fisik, namun dialog dan ucapannya amat “persuasif”, jika boleh saya mengutip kata-kata Seraphina, presiden MACUSA.

Tidak seperti sebelumnya, Fantastic Beasts: Crimes of Grindelwald minim unsur komedi serta menderita dari kompleksnya cerita, namun harus diakui memiliki beberapa momen magis, elemen nostalgia, serta  tokoh-tokoh yang karismatik. Rowling sepertinya bakal mengambil resiko komersial besar melalui film ini karena kompleksnya cerita, minim humor, serta isu seputar penggunaan kasting pemainnya (Depp). Film ini jelas lebih mudah dinikmati lebih oleh fans sejati Harry Potter dan bakal sulit diterima penonton awam terlebih anak-anak. Namun, J.K. Rowling harus kita akui adalah seorang penulis naskah yang handal. Kisah belum selesai dan masih ada beberapa seri lagi ke depan. Kita harapkan saja (setidaknya saya), kisah berikutnya bisa lebih menghibur tanpa mengurangi detail cerita yang telah diskema demikian matang oleh sang penulis. Tentu, kita mengharapkan kejutan-kejutan baru, baik secara cerita dari sang penulis, maupun secara estetik dari sang sineas. Kisah dunia sihir ini memungkinkan untuk segalanya bisa terjadi.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaDear Nathan: Hello Salma
Artikel BerikutnyaHanum & Rangga: Faith and the City
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses