Menonton Avatar, tak heran bila perhatian utama kita tertuju pada “pameran” teknologi yang disuguhkan sutradaranya, James Cameron. Kita dibuat kagum atas khayalannya tentang sebuah planet (tepatnya bulan) Pandora yang berisi makhluk biru setinggi 10 kaki berekor, gunung melayang, binatang-binatang aneh yang mirip kuda, serigala, burung phoenix, dan entah apa lagi. Saat menontonnya di bioskop 3D, kita makin tambah kagum lantaran betapa nyatanya daya khayal Cameron terwujud di depan mata. Ia telah menggunakan setiap sen bujet maha besarnya (sampai AS $ 300 juta) dengan bijak.

Usai mengagumi imajinasi sang sineas, kita lantas memaknai kisahnya dalam kehidupan umat manusia di dunia nyata. Film ini punya pesan supaya manusia di bumi lebih mencintai lingkungan, menghargai komunitas lokal dan suku terasing, serta jangan menghancurkan alam demi kepentingan korporasi. Manusia, seperti kita lihat dalam District 9, menjadi antagonis di sini karena keserakahannya. Film ini jadi otokritik Cameron pada pemerintah di negaranya yang melakukan pre-emtive attack (menyerang lebih dulu) sebuah negeri. Penggambaran keruntuhan pohon besar tempat para Na’vi, penduduk Pandora tinggal, mengingatkan kita pada runtuhnya menara kembar WTC tahun 2001 silam. Ada kengerian, kesedihan, keputusasaan, dan kebingungan di wajah-wajah para Na’vi.

Kekaguman pada efek khusus dan pesan besar dalam narasi Cameron membuat kita sedikit melupakan aspek lain yang selalu muncul di setiap film-filmnya, termasuk Avatar, yakni: perempuan. Ya, perempuan selalu mendapat tempat tersendiri di film-film Cameron. Seperti dicatat Rebecca Keagan, di situs Vanity Fair, di film Avatar kita melihat sosok-sosok perempuan hebat. Salah satu tokoh utamanya, Neytiri (Zoe Salanda) digambarkan cerdas, gesit, piawai memanah, dan menguasai bahasa manusia. Ia adalah Pocahontas dari makhluk Na’vi. Ada pula Grace Augustine yang diperankan Sigourney Weaver, ilmuwan idealis yang memimpin program avatar, menempatkan manusia ke dalam tubuh makhluk Na’vi untuk bisa berkomunikasi dan hidup dengan mereka. Di film ini, ia adalah sisi manusiawi dari korporasi yang tujuannya mencari untung semata. Sikap keras kepala dan kecintaannya pada Na’vi melemahkan sekaligus membahayakan kepentingan korporasi dan militer. Selain itu, di antara para tentara yang terdiri dari laki-laki kekar yang berjejalan mengendarai robot atau helikopter, ada Trudy (Michele Rodriguez), perempuan perkasa pengendara helikopter yang tak kalah kuat dari para laki-laki saat menenteng senjata. Kemudian ada ibunda Neytiri, Mo’at, dukun para Na’vi. Pada siapa ia menyembah? Di Pandora, bahkan dewa memiliki kata ganti “she” dan dinamai Eywa.

Karakter para perempuan perkasa dalam film Avatar adalah tradisi Cameron yang terus berlanjut sejak film-filmnya terdahulu, Terminator (1984) hinga saat ini. Sosok Sarah Connor (Linda Hamilton) di film Terminator pertama secara kasat mata terlihat selalu meminta perlindungan pada kaum laki-laki, namun di film ini Cameron memberi alasan Sarah pantas dilindungi karena dari rahimnya kelak lahir penyelamat manusia di masa depan. Plot yang ia pinjam dari kisah mesiah (penyelamat) di agama-agama besar ini menempatkan Sarah bak ibu suci yang harus dilindungi.

Film berikutnya, Aliens (1986) adalah tafsir ulang Cameron pada film yang sebelumnya dibuat Ridley Scott pada 1979 (Alien). Di film sekuel ini, Cameron tak hanya menampilkan alien lebih banyak sesuai judulnya, tapi juga membawa kisahnya pada pencapaian lebih jauh daripada yang dilakukan Scott. Film pertama yang dibuat Scott dianggap sebagai film horor ber-setting ruang angkasa. Dengan demikian sosok Ripley (diperankan Sigourney Weaver) tak lebih sebagai orang yang kebetulan selamat dari kebuasan alien. Namun, tafsir Cameron di film keduanya membawa karakter Ripley lebih jauh. Ripley tak hanya kebetulan selamat, ia selamat karena ia perempuan perkasa yang bisa mengalahkan alien. Pertarungan Ripley, mengendarai robot, melawan alien di klimaks film kedua adalah bukti nyata untuk itu.

Yang membuat Cameron istimewa, adalah hal yang dilakukannya itu—menempatkan perempuan sebagai jagoan atau tokoh maha penting—bukanlah hal yang lazim dilakukan oleh sineas di ranah film arus-utama pada 1980-an. Pada tahun-tahun itu perempuan lebih sering digambarkan sebagai pelengkap penderita, penghibur sang pria jagoan, atau makhluk lemah yang harus dilindungi.

Baca Juga  Terminator 1 & 2, Kemenangan Cameron, Arnold, dan Efek Visual.

Cameron membuktikan bahwa dia tak sekadar bereksperimen menciptakan karakter perempuan jagoan. Film-film Cameron berikutnya juga menempatkan perempuan pada posisi penting. Di The Abyss (1986), dongeng tentang alien yang hidup di bawah laut, menampilkan sosok perempuan di antara ilmuwan laki-laki. Dalam True Lies (1994) ia lagi-lagi membuat karakter perempuan (Helen Tasker diperankan Jamie Lee Curtis) yang tak kalah hebatnya dengan laki-laki, berjumpalitan bak James Bond, dan menjadi model bagi Angelina Jolie untuk film Mr. & Mrs. Smith. Sedangkan dalam Terminator 2: Judgment Day (1991) Cameron menampilkan lagi Sarah Connor bukan sebagai sosok yang selalu harus dilindungi kaum laki-laki, tapi juga mampu mengangkat senjata dan ikut berperang. Sarah kabur dari rumah sakit jiwa dengan melukai penjaga demi menyelamatkan anaknya dan umat manusia. Ini sebuah metafora Cameron tentang peran ibu sebagai orangtua tunggal yang harus membesarkan anak sendirian.

Bahkan lewat film Titanic (1994) yang sejatinya adalah kisah cinta si kaya dengan si miskin di kapal yang akan tenggelam, Cameron memberi aura “keperkasaan” pada sosok Rose yang diperankan Kate Winslet. Rose digambarkan sebagai perempuan pemberontak untuk ukuran zamannya. Para pengkritik Cameron yang mengerti sejarah mengatakan perempuan pada saat itu (awal abad ke-20) belum jamak menghisap rokok selayaknya laki-laki—bahkan bila hal itu dianggap sebagai perlawanan kaum perempuan.Bisa jadi Cameron dalam hal ini sengaja tak otentik. Ia ingin sosok Rose jadi pemberontak atas kemapanan dan kemunafikan di era akhir zaman Victoria.

Lantas, dengan sederetan karakter perempuan perkasa tersebut, apakah film-film Cameron dapat disebut sebagai film perempuan dan menganjurkan feminisme?

Well, tak sesederhana itu. Film perempuan adalah, seperti dikatakan Nia DiNata pada Femina, film yang tokoh utama protagonisnya adalah perempuan, bercerita tentang masalah perempuan, dan tidak mengeksploitasi seksualitas atau keindahan perempuan secara terpaksa. Film-film Cameron bukanlah film perempuan meski ia selalu menempatkan tokoh perempuan sebagai protagonis. Tema film-filmnya tak pernah berkisar tentang masalah perempuan. Perempuan hanya ia tempatkan dengan terhormat dalam sebuah narasi besar yang lain (perang melawan mesin, kebuasan alien, berkomunikasi dengan makhluk asing bawah laut, atau menangkap teroris). Titanic juga bukan film perempuan meski pasar utamanya perempuan (terutama yang kesengsem pada ketampanan Leonardo DiCaprio). Titanic hanya film romantis tentang keabadian cinta. Lain tidak.

Film-film Cameron juga bukan film feminis. Feminisme mempunyai bermacam-macam arti. Tapi intinya, seperti kata Gibson J. Williams (1991), feminisme mengarahkan fokusnya pada penindasan laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki dalam hal ini tak selamanya individu, tapi juga tradisi, atau lebih luas lagi, kebudayaan yang telah begitu lama didominasi (dan menguntungkan) laki-laki. Narasi besar film-film Cameron tak hendak menggugat itu. Para perempuan perkasa di film-filmnya kelihatan sudah perkasa dari sananya. Mungkin, dalam fantasi Cameron di masa depan, persoalan gender sudah tamat. Pada akhirnya di masa depan perempuan dan laki-laki hidup setara. Perempuan bisa sama atau lebih perkasa dari laki-laki. Makanya, di Avatar yang ber-setting tentang masa depan, kehadiran perempuan sebagai pilot helikopter tak lagi dipandang dengan takjub atau heran, karena itu sudah keniscayaan di masa depan nanti.

Cameron, sebagaimana dikatakannya pada Rebecca Keegan, hanya ingin membuat sesuatu yang lain dari yang kebanyakan orang buat. Ia seakan membalikkan sebuah mitos bahwa film yang menampilkan perempuan jagoan akan diemohi penonton laki-laki, sedang penonton perempuan tak suka film yang lebih banyak memamerkan teknologi dan aksi. Bukti bahwa film-filmnya laris manis ditonton jutaan orang pertanda penontonnya datang dari dua jenis kelamin berbeda, laki-laki dan perempuan.

Artikel SebelumnyaThe Left Bank Cinema
Artikel BerikutnyaFestival Film Dokumenter 2009
Kontributor Montasefilm.com, bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Seandainya Saya Kritikus Film” (Homerian Pustaka, Yogyakarta), rilis 2009.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.