Belum rilis film Ayat-Ayat Cinta di bioskop, kita sudah bisa mendapatkan VCD bajakannya dengan mudah di emperan-emperan toko serta tempat-tempat persewaan film. Bisa dibilang ini adalah pencapaian baru bagi dunia pembajakan, khususnya film Indonesia, karena baru kali ini film Indonesia dibajak sebelum rilis filmnya. Kasus yang sama pernah terjadi beberapa tahun silam untuk film Jelangkung namun bajakannya keluar setelah rilis filmnya dan itu pun dengan kualitas gambar yang buruk.

Bicara masalah film bajakan sudah bukan barang aneh bagi masyarakat kita. VCD/DVD orisinal yang berbandrol puluhan hingga ratusan ribu rupiah jelas kalah bersaing dengan VCD/DVD bajakan yang hanya berbandrol 5-8 ribu perak! Jika kita tilik ke belakang format VCD mulai marak menggantikan LD (Laser Disk), kaset Betamax, dan VHS mulai pertengahan dekade 90-an. Ketika itu VCD orisinal harganya cuma sekitar 20 ribuan. VCD bajakan mulai marak setelah era krisis terutama karena harga VCD original naik hingga 40-50 ribuan. Sementara DVD bajakan impor (DVD 9) mulai marak di tahun-tahun awal milenium baru dengan harga antara 30-50 ribuan. Sangat jauh harganya jika dibandingkan harga DVD orisinal kala itu yang mencapai 200 ribuan. DVD bajakan jenis ini walaupun kualitasnya nyaris setara dengan DVD orisinal namun kini sudah jarang di pasaran karena kalah bersaing dengan DVD bajakan lokal (DVD 5) yang harganya berlipat kali lebih murah.

Tampak jika dari masa ke masa masyarakat kita cenderung memilih produk dengan harga yang lebih murah tanpa mempertimbangkan kualitas. Tak peduli kalangan atas, menengah, bawah, semuanya memilih produk VCD/DVD bajakan karena harganya yang lebih murah. Berapa gelintir orang sih yang mau (dan mampu) menikmati film dari format DVD (orisinal) lengkap dengan tata suara DTS? Sebagian besar orang tidak peduli dengan kualitas gambar atau suara yang jernih… yang mereka pikirkan hanya mendapatkan hiburan yang murah meriah. Itu saja! Selama produk bajakan masih ada di pasaran dengan harga yang lebih murah, sampai kapan pun pasti akan terus dikonsumsi masyarakat. Terlebih lagi di jaman serba susah seperti sekarang.

Baca Juga  Infernal Affairs, Terobosan Baru “Gangster” Hong Kong

Memerangi produk VCD/DVD bajakan jelas bukan perkara gampang. VCD/DVD bajakan serta produk-produk bajakan lainnya sudah mendarah daging di masyarakat kita dan sepertinya hampir mustahil untuk diberantas. Jika produk VCD/DVD bajakan hilang seketika di negeri ini… mungkin ratusan ribu orang (mungkin jutaan) akan kehilangan pekerjaan saat itu juga. Pelarangan produk bajakan akan justru menimbulkan implikasi sosial yang tidak kecil. Belum lagi kemudahan mendapatkan alat pengganda seperti CD/DVD RW juga menyebabkan semua orang berpotensi sebagai pembajak.

Pemberantasan produk bajakan tidak akan efektif dan maksimal selama tidak menyentuh esensinya, yakni tersedianya produk (orisinal) yang lebih murah. Jika harga DVD/VCD orinal memang tidak bisa turun ke harga yang relatif terjangkau, jelas adalah tugas pemerintah untuk menaikkan daya beli (kesejahteraan) masyarakat. Di saat yang sama penegakan hukum juga harus dilakukan dari hulu ke hilir, bukan di tingkat pengecer atau pengguna. Selama kedua hal tersebut tidak dilakukan berkesinambungan selamanya pula produk bajakan akan terus eksis. Format paling gres, Blue-Ray kini mulai muncul di pasaran, mungkin tinggal menunggu waktu akan muncul produk bajakannya.

https://www.youtube.com/watch?v=ClsEomz64cg

Artikel SebelumnyaMafia Tanda Kutip
Artikel BerikutnyaCut Njak Dien
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.