Siapa saat ini remaja yang tak kenal Twilight Saga? Mungkin hanya orang dari planet lain yang sedang jatuh ke bumi. Setiap seri filmnya begitu digandrungi penikmat film. Orang-orang rela antri bahkan sejak pintu bioskop belum dibuka. Penonton begitu histeris saat ada adegan yang mengagumkan bagi mereka. Bahkan di beberapa bioskop para penonton wajib menunjukkan kartu identitas. Begitu hebatnya drama percintaan ini menguras perhatian penonton. Yes, its Twilight Age! Terlepas dari kesuksesan novelnya, sukses seri film Twilight adalah sebuah fenomena langka di dunia film.
Kisah klasik “Romeo dan Juliet” yang melegenda memang tak pernah pudar. Semua orang bakal terus mengingatnya. Cerita indah dan dibumbui oleh masalah-masalah (dibuat) kompleks dan heroik. Layaknya fairy tale selalu tersimpan dipikiran dan benak setiap wanita. Twilight Saga menyuguhkan cerita yang akan membuat penonton khususnya wanita terbius dan terlena dalam khayalannya. Sebenarnya seri film Twilight memiliki naskah yang lemah (baca: terlalu sederhana) untuk kategori film drama. Tidak seperti novelnya yang begitu kuat dan dengan detail mampu menyentuh hati pembaca. Namun dengan mengumbar sisi khayalannya serta alur cerita yang sangat lambat, maka penonton merasa drama ini benar-benar drama yang romantis.
Disamping cerita dan konfliknya, yang menjadi daya tarik utama filmnya adalah aktor-aktor mudanya yang berkilau. Memang pada Twilight (seri pertama), tidak semua penonton mengetahui siapa dan bagaimana kiprah para pemerannya. Namun, ketampanan Edward Cullen dan kecantikan Bella Swan memberikan warna lain sepanjang film. Juga perubahan Jacob menjadi sosok cowok macho (seri kedua), idaman para gadis remaja pun menjadi magnet yang dahsyat menciptakan teriakan histeris tiap kali keduanya muncul. Karakter-karakter pendukung lainnya pun tidak kalah menariknya sehingga semua penampilan fisik menjadi seimbang. Pemilihan serta kasting pemain membuktikan bahwa tampilan fisik para aktor dan aktrisnya adalah salah satu daya tarik terbesar dalam seri film ini.
Seri Twilight sangat lihai dalam mengambil hati wanita. Wanita mana yang tak suka menjadi rebutan. Apalagi menjadi rebutan dua cowok keren yang benar-benar luar biasa. Vampire yang tampan dan Werewolf yang gagah. Bella adalah sosok gadis biasa yang tidak populer dan bukan cewek idola, seperti mendapat “rejeki nomplok”. Mengobral tampilan fisik yang mempesona adalah salah satu trik yang terbukti ampuh. Penonton wanita (remaja) akan memposisikan dirinya menjadi seorang Bella dan penonton pria (remaja) akan berimaginasi betapa mengasyikkannya menjadi sosok cowok Edward maupun Jacob yang tampan dan gentlement. Ya, fantasi-fantasi seperti inilah juga yang menjadi umpan ampuh dan memang tepat mengenai sasarannya. Pilihan kota yang tenang, dingin, jauh dari hiruk pikuk metropolitan juga sangat mendukung suasana romantis yang dibangun.
Adegan romantis yang banyak disuguhkan juga tentunya sangat disukai dan dinanti penontonnya. Adegan romantis menggambarkan hubungan percintaan adalah hubungan yang sangat emosional, lembut, dan mesra. Para penonton yang sebagian besar remaja tentu akan merasakan sisi romantis dan keintiman Edward dengan Bella adalah sebuah oase dari rasa penasaran dan harapan mereka. Meskipun selalu berganti sutradara pada setiap seri filmnya, namun tak ada perubahan signifikan yang tamapk dalam adegan romantisnya. Mulai dari Catherine Hardwicke yang menyutradarai Twilight (2008), diganti oleh Chris Weitz menggarap New Moon (2009), lalu David Slade untuk Eclipse (2010) dan yang terakhir Bill Codon untuk Breaking Dawn Part 1 (2011). Entah apa tujuan pasti dari pergantian ini, mungkin dengan harapan akan memberi nuansa dan suasana baru sehingga film tidak membosankan namun jelas ini tidaklah memberikan perubahan yang memuaskan.
Kesuksesan film Twilight memiliki andil besar pada antusiasme penonton di seri-seri berikutnya termasuk bagi penonton yang belum membaca novelnya. Kesan yang sudah melekat di sanubari serta rasa penasaran akan bagaimana kelanjutannya membuat film seterusnya semakin laris. Twilight Saga membuktikan bahwa tidak perlu harus membuat film berkualitas tinggi untuk meraup sukses dengan keuntungan besar-besaran. Kuncinya adalah dengan menyuguhkan faktor-faktor yang bakal disukai oleh penonton film dengan target pasar yang luas. Naskah cerita seadanya yang diambil dari novel best seller pun menjelma menjadi cerita yang sangat “luar biasa”.
Tak perlu melakukan kasting pemain secara perfeksionis dari sisi akting untuk mendapatkan pemeran yang spektakuler, karena pemeran yang disukai penonton kebanyakan adalah aktor dan aktris yang goodlooking dengan pesona sebagai idola. Toh misalnya kehadiran aktris berakting handal macam Dakota Fanning pun tidak tampak memukau dan kehilangan greget karena dia memang salah tempat alias kesasar di film selera remaja ini. Seri akhir yang dibagi menjadi dua bagian (bisa jadi terinspirasi seri akhir Potter) sangat membuktikan bahwa ini adalah permainan bisnis. Meskipun pasti dapat berdalih dengan porsi novel Breaking Dawn yang memang lebih tebal dibandingkan dengan novel-novel sebelumya.
Terjawab sudah mengapa film-film seri Twilight bisa sangat sukses luar biasa box office meskipun dikritik negatif oleh para kritikus film. Film seperti ini pasti akan terus diproduksi sesuai dengan minat pasar. Masyarakat luas sebagai penonton dan penikmat film sudah terbukti tertarik dengan film yang penuh dengan imajinasi dan menyentuh perasaan. Rasa haus akan indahnya berada di dalam kehidupan fairy tale menimbulkan “kegersangan” batin terutama di jiwa para remaja. Sehingga film-film drama romantis yang mengumbar khayalan seperti ini menjadi penawar yang sangat digilai oleh orang-orang yang (ter)gila-gila akan cinta sejati yang sempurna.