Ferdinand (2017)

108 min|Animation, Adventure, Comedy|15 Dec 2017
6.7Rating: 6.7 / 10 from 64,720 usersMetascore: 58
After Ferdinand, a bull with a big heart, is mistaken for a dangerous beast, he is captured and torn from his home. Determined to return to his family, he rallies a misfit team on the ultimate adventure.

Film animasi anak-anak, Ferdinand, mencoba peruntungannya untuk melawan raksasa Star Wars: The Last Jedi yang dirilis pada minggu yang sama. Ferdinand diproduksi oleh Blue Sky Studios yang kita kenal dengan seri film-film animasi populernya, Ice Age serta Rio. Pengisi suara film ini antara lain John Cena, Kate McKinnon, serta David Tennant. Rasanya berat bagi Ferdinand untuk bisa bersaing dengan Star Wars, namun apakah ia bisa bersaing dengan studio animasi kompetitornya?

Ferdinand adalah seekor banteng cilik yang tinggal di sebuah ranch pelatihan banteng Casa del Toro. Tidak seperti ayahnya yang merupakan banteng tarung yang perkasa, Ferdinand tidak suka bertarung, dan ia bahkan sangat menyukai bunga. Suatu ketika, ia kecewa karena ayahnya tidak kembali dari pertandingan, dan ia memutuskan untuk lari dari ranch tersebut. Pelarian ini membawanya ke majikan barunya, Nina, putri seorang penjual bunga, serta anjingnya, Paco. Ferdinand menemui surga barunya di kehidupan barunya yang penuh kehangatan dari sang majikan dan warna-warni bunga hingga ia tumbuh dewasa. Suatu ketika, sebuah kejadian tak diduga membuatnya harus pergi jauh dari Nina.

Seperti judulnya, kisahnya memang sederhana dan ringan. Setelah separuh durasi, kisahnya terasa sedikit membosankan sebelum segmen klimaks yang penuh dengan aksi kejar-mengejar. Untuk penonton anak-anak bisa dipastikan mereka pasti akan sangat terhibur, namun untuk penonton dewasa rasanya terlalu datar karena konfliknya terlalu ringan dan arah cerita terlalu mudah diantisipasi. Kisahnya, sebenarnya memiliki potensi yang kuat untuk bisa diolah lebih jauh lagi dengan setting alam desa Spanyol plus tradisi tarung banteng yang jarang sekali kita temui dalam film animasi sejenisnya. Tapi apa mau dikata, Ferdinand memang bukan sekelas film animasi produksi Studio Pixar yang memiliki keseimbangan baik antara plot, kekuatan tema, serta pesan yang amat dalam, seperti Coco yang rilis baru lalu.

Baca Juga  Viking Wolf

Ferdinand memiliki kualitas cerita dan pencapaian visual jauh dibawah studio-studio kompetitornya, walau kisahnya cukup menghibur target penontonnya. Studio 20th Century Fox kini telah dibeli Disney, entah apakah Blue Sky Studios termasuk bagian dari kesepakatannya, karena Disney telah memiliki Pixar dan Disney Animation yang kini nyaris tanpa lawan. Entah apapun itu, studio-studio pesaing Pixar dan Disney, rasanya harus mencoba mencari terobosan baru yang lebih segar dan variatif, dengan kedalaman cerita serta pesan yang kuat. Film-film seperti seri Kung Fu Panda serta seri How to Train Your Dragon garapan Dreamworks Animation terbukti memiliki pamor yang kuat untuk bisa bersaing di level tertinggi.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaStar Wars: The Last Jedi
Artikel BerikutnyaThe Last Jedi Raih US$450 juta dalam Opening Globalnya!
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.