Sebuah festival adalah ruang apresiasi sekaligus tempat untuk tolak ukur, tak terkecuali Festival Film Pelajar Indonesia (FFPI) yang diadakan di gedung Art Cinema FFTV-Institut Kesenian Jakarta pada tanggal 11-13 Juni 2010. Sebagai ruang apresiasi, festival ini memberikan wadah bagi para pelajar tingkat SMP dan SMA untuk mempersilahkan khalayak mengapresiasi film yang mereka produksi. Salah satu kegiatan festival ini adalah screening film-film yang masuk nominasi, apresiasi dilakukan baik peserta festival maupun siapa saja yang ingin menonton. Festival ini menjadi semacam lomba untuk menentukan film-film mana yang diapresiasi paling baik oleh dewan juri, dan pada lomba inilah salah satu unsur tolak ukur dapat dilihat. Tetapi apakah setelah ditentukan para pemenangnya, kita bisa menentukan tolak ukur seperti apa festival ini? Festival untuk pelajar sedikit sekali diadakan dan bisa dikatakan hampir tidak ada. Dengan adanya festival ini setidaknya kita bisa membaca bagaimana para pelajar kita yang mulai bersentuhan dengan film menggunakan bahasa visual, yang tentunya sebuah hal yang baru bagi mereka.
Dengan tema “Indonesiaku Kebanggaanku”, festival ini melombakan lima kategori film, yaitu film fiksi (live action), film fiksi animasi, film dokumenter, video klip, dan iklan layanan masyarakat. Ditambah dengan pemilihan sutradara terbaik dari semua sutradara yang filmnya masuk nominasi dari semua kategori diatas. Melalui tema tersebut pula bisa kita lihat bagaimana para peserta pelajar mengembangkan tema tersebut dalam film. Hal tersebut dapat kita lihat dari judul-judul film yang masuk nominasi, seperti : Jayalah Terus Indonesiaku (SMKN 1 Cimahi, Jawa Barat); Hijau Negeriku Indah Indonesiaku (SMKN 1 Sukabumi); Indonesia Kebangganku (SMA Purwosari, Trenggalek); Banteng-Banteng Penjaga Budaya (SMK Coe Jesu Malang); Ini Budayaku, Budayamu? (SMAN 1 Yogyakarta); ataupun Cintailah Batik Indonesia (SMK Nawa Bakti, Kebumen). Dari judul-judul tersebut bisa dikatakan terdapat keseragaman persepsi dalam menyikapi tema yang ditetapkan panitia FFPI. Dari beberapa judul diatas bisa kita perkiraan apa yang mereka pikirkan ketika tema tersebut menjadi syarat dalam setiap karya, yaitu tentang harapan dan kekhawatiran. Dua hal yang saling membelakangi namun dalam konteks negara kita sekarang menjadi sebuah hal yang relevan. Harapan akan negeri kita yang lebih baik dan kekhawatiran akan tergerusnya kebudayaan kita. Tema Indonesiaku Kebangganku juga sering diperlihatkan melalui bendera Merah Putih yang menjadi elemen penting dalam beberapa film yang masuk nominasi.
Selain screening dan penjurian, dalam FFPI diadakan pula klinik film, pada sesi ini merupakan berbagi pengetahuan dan pengalaman para alumni dan mahasiswa tingkat akhir FFTV-IKJ tentang produksi film. Ada 3 sesi dengan 3 pembicara dalam klinik film. Film cerita bersama Chairun Nissa, film fokumenter bersama, Ari Rusyadi, dan film animasi bersama Kuntep Tarawa. Para narasumber yang dipilih adalah alumni yang baru saja lulus dan film tugas akhirnya memenangkan beberapa festival film baik dalam dan luar negeri. Sementara pembicara film animasi dipilih mahasiswa senior yang mempunyai karakter dan teknik yang khas dalam pembuatan animasi. Dalam sesi ini, terjadi tanya jawab yang menarik tentang bahasan yang diangkat. Pembicara membedah kelebihan dan kekurangan film-film yang masuk nominasi. Seperti pada sesi animasi, pembicara memberi kritikan bahwa film-film yang masuk nominasi terlalu banyak mengandalkan software, sehingga memberi kesan mekanik dalam setiap gerak animasi yang dibuat. Melalui klinik film ini para peserta mendapatkan referensi yang baru tentang pembuatan maupun pengertian tentang film. Satu lagi kegiatan yang menarik pada FFPI adalah kuliah umum oleh Bambang Supriadi, director of photography senior sekaligus dosen sinematografi di IKJ. Bambang Supriadi mengajarkan unsur-unsur yang membentuk sebuah film. Melalui klinik film dan kuliah umum nampaknya memberikan pemahaman yang baru tentang film bagi para peserta yang hadir di gedung Art Cinema FFTV-IKJ.
Sebuah kertas gambar tampak di-background, lalu ada tangan orang yang sedang menggambar di kertas tersebut. Yang digambar adalah panorama alam Indonesia, gunung-gunung dengan pohon-pohon yang asri, lalu tiba-tiba tangan itu mengambil penghapus dan menghapus pohon-pohon tersebut dengan latar suara gergaji mesin, yang mendengung layaknya gergaji yang sedang menebang pohon. lalu dari bawah kertas muncullah api yang membakar kertas tersebut. Setelah semua terbakar, munculah kertas dengan gambar panorama alam lagi namun di kertas gambar ini, tidak ada penghapus dan suara gergaji, yang ada hanyalah suara alam dan burung berkicau. Dan tampak pula burung-burung yang beterbangan. Inilah gambaran yang bisa kita ungkapkan melalui kata-kata pada adegan film Hijau Negeriku Indah Indonesiaku yang disutradarai Prima Citra dari SMKN 1 Sukabumi. Film ini meraih film terbaik untuk kategori iklan layanan masyarakat sekaligus sutradara terbaik yang berhak memenangkan beasiswa setahun belajar di IKJ. Dari film ini kita bisa melihat penggunaan bahasa film yang sangat menarik.
FFPI 2010 selain sebagai tolak ukur bagi peserta, juga bisa kita pakai sebagai tolak ukur pengembangan film Indonesia kedepannya. Semoga kehadiran festival film semacam ini diharapkan mampu berperan dalam memajukan perfilman kita. Selain pembenahan pada sektor industri film, pengembangan film lewat penanaman pemahaman akan film kepada generasi muda, bisa dikatakan sama pentingnya. Pengenalan dan penggunaan bahasa film yang masih asing bagi kebanyakan massyarakat kita bisa dimulai lebih awal, yaitu dimulai dari para pelajar SMP dan SMA sederajat. Melalui pemahaman dan pengertian bahasa film yang ditanamkan sejak awal akan menumbuhkan kreasi dan apreasiasi film Indonesia yang semakin baik di masa depan.
Selamat untuk FFPI 2010 dan semua pemenang FFPI 2010.
Subiyanto