Rupanya takdir kematian tragis belum berakhir setelah serinya absen lebih dari satu dekade. Final Destination Bloodlines adalah sekuel dari Final Destination 5 (2011) yang digarap Zach Lipovsky dan Adam Stein. Film ini dibintangi sederetan bintang muda, yakni Kaitlyn Santa Juana, Teo Briones, Richard Harmon, Owen Patrick Joyner, serta aktor reguler serinya, Tony Todd (alm.). Akankah setelah sekian lama, sekuel terbarunya ini bisa mengubah takdir serinya yang selama ini sukses biasa-biasa saja?
Stefani (Juana) selalu bermimpi buruk tentang sang nenek, Iris, yang tewas dalam peristiwa runtuhnya bangunan restoran Skylar puluhan tahun lalu. Ia pun pulang kampung untuk mencari tahu keberadaan neneknya yang konon dianggap memiliki gangguan mental. Dengan susah payah, akhirnya Stefani bisa bertemu sang nenek yang memberi buku hasil risetnya puluhan tahun untuk menghindari dan menipu “kematian”. Di saat bersamaan, satu demi satu, anggota keluarga Stefani pun tewas secara tragis dan tak wajar, dan semua rangkaian kejadian ini rupanya terkait dengan peristiwa masa lalu Iris.
Seri Final Destination, boleh dibilang adalah “horor modern” yang rilis persis 25 tahun yang lalu, diawali oleh Final Destination (2000). Kisahnya terhitung segar dan inovatif dengan menghadirkan sisi horor tanpa sosok seram. Seri pertama dan kedua adalah yang paling membekas. Setelahnya, terhitung hanyalah formalitas, tidak hingga seri “final” kelima (2011) yang secara cerdik menghubungkan kisahnya kembali dengan film pertama. Seri ini ditutup dengan gaya resolusi berkelas.
Formula plot tiap serinya selalu sama, diawali dengan satu peristiwa menghebohkan yang merupakan prekognisi atau firasat yang dialami oleh protagonis utama. Setelahnya adalah upaya para tokohnya untuk bertahan hidup dengan cara menipu kematian alias “cheat death”. Teori serta asumsi selalu muncul dalam serinya dan tidak pernah berakhir baik bagi semua karakternya. Satu keunggulan seri ini adalah cara dan proses “kematian” unik dengan memanfaatkan properti (benda) di sekeliling karakter yang seolah berkolaborasi untuk membunuh seorang karakter dengan urutan tertentu.
Lantas bagaimana dengan Bloodlines?
Formula kisahnya nyaris sama, hanya saja Bloodlines seperti diusung titelnya, mencoba memberikan satu motif besar mengapa kutukan dalam semua serinya bisa terjadi? Ringkasnya, semua orang yang terlibat dalam peristiwa runtuhnya restoran Skylar (dan semua keturunannya), tidak boleh hidup. Hebatnya, ternyata semua karakter yang ada dalam semua seri terdahulu (leluhur mereka) pasti terhubung dengan kejadian ini. Bukankah ini terlalu memaksa dan dicari-cari? Faktanya demikian dan ini bukan masalah.
Naskahnya direkonstruksi demikian rupa agar aksi-aksi brutal yang mengasyikkan bisa ditonton kembali oleh generasi masa kini dengan cara yang lebih brutal. Sementara bagi penonton lawas atau fans serinya, bisa jadi sudah tidak memiliki gairah yang sama. Aksi-aksinya pun senada dan kita tidak akan melihat tokoh-tokohnya tidur nyaman dengan penuh senyum sambil menerima takdirnya. Semakin brutal cara tewas mereka semakin keras jeritan penonton di dalam bioskop. Semua kekonyolan-kekonyolan muncul silih berganti tanpa merangsang otak kita untuk berpikir. Filosofi kematian yang sesungguhnya bisa dieksplorasi lebih bijak dihantam oleh kematian bertubi-tubi.
Selain segmen pembuka yang mengesankan dan aksi-aksi brutalnya, Final Destination Bloodlines mencoba meremajakan formula melalui kisah eksposisi latar serinya dengan cara bergegas tanpa menyentuh substansi cerita. Tak ada yang baru dan segar di sini, walau sedikit adegan mencuri perhatian melalui ritmik editing dan hentakan musik. Entah mengapa, hingga kini segmen pembuka Final Destination 2 masih begitu membekas. Adegan ini terasa nyata dan menusuk, tidak seperti setelahnya yang didominasi efek visual. Selama memiliki potensi keuntungan komersial, sebuah franchise tidak akan pernah mati. Ini sudah takdirnya.