Profesi sebagai penyiar berita di daerah tertentu memang menjadi salah satu pekerjaan idaman banyak orang. Alhasil, tak pelak jika kemudian sang penyiar dianggap superstar dan diidolakan oleh khalayak. Namun, Bruno Dumont mempertanyakan satu kemungkinan lewat film yang ia tulis dan arahkan dengan judul France ini. Bagaimana jika sang bintang tiba-tiba tersandung suatu kecerobohan? Film drama komedi ironi dan perang ini diproduksi oleh 3B Productions, dibantu Red Balloon Film, Ascent Film, Scope Pictures, dan Arte France Cinéma. Para pemerannya yaitu Léa Seydoux, Blanche Gardin, Benjamin Biolay, Emanuele Arioli, dan Gaëtan Amiel. Cara seperti apa yang digunakan Dumont dalam meramu pertanyaannya tersebut menjadi film?
“It’s very painful. I’m unhappy.”
Superstar televisi, France (Seydoux), adalah penyiar berita paling terkenal di sepenjuru kota. Bahkan hampir satu negara tahu siapa dia. Karirnya tengah berada di puncak. Dia amat menikmati segala kemewahan dan privilege dalam hidup. Borjuis oportunis konglomerat bersama suaminya, Fred (Biolay). Namun suatu ketika setelah mengantarkan putranya, Joseph (Amiel), France mengalami satu insiden. Dia, secara tanpa sengaja karena tidak memperhatikan jalanan di depan mobil, menabrak seorang pengendara motor. Baru sesaat setelahnya bahkan berita miring France terkait insiden itu langsung terbit lewat sebuah majalah. Hari-hari yang berlalu pun semakin tidak menyenangkan bagi France, hingga berbulan-bulan lamanya menyiksa batin France.
Kesan pertama setelah menonton France dan semua orang pasti setuju adalah durasi panjangnya. Efek yang dirasakan pun tidak menyenangkan, karena kita tidak tahu di mana letak ceritanya kemungkinan akan berakhir. Dengan lebih dari dua jam, France juga dirugikan untuk segi tensi dalam tangga dramatiknya dari level ke level. Rupanya Dumont tidak mempertimbangkan kemungkinan timbulnya kebosanan dalam benak penonton gara-gara kekurangan itu. Ketika tensi dramatik yang sebetulnya banyak mengandung intensitas tinggi, malah berjauhan satu sama lain dengan jarak yang terlalu lama. Rasanya, alasan demi mengawal perjalanan pengembangan karakter sang tokoh utama tidaklah relevan. Melihat bagaimana fakta yang diakibatkannya terhadap tingkat kebosanan penonton.
Perkembangan karakter dari sang tokoh utama pun berjalan sangat lambat. Sentakan peristiwa yang biasanya “memaksa” plot cerita sesegera mungkin berpindah ke babak dua pun baru muncul setelah lewat seperempat durasi. Setelahnya, perjalanan yang mesti France tempuh untuk menyembuhkan trauma, upaya kebangkitan dan pengembalian nama baik, serta momen kejatuhannya kembali juga berlangsung amat lama. Kita bahkan bisa merasa kesal sendiri dengan kecerobohan France yang masih saja berulang kali melakukan kesalahan. Seakan penulis France membiarkan tokoh rekaannya tersebut tidak cepat berlajar dari pengalaman. Bahkan ia –sang penulis—tak mempermasalahkan France yang masih dengan lugu dan polosnya membiarkan asistennya, Lou, memanipulasi dia. Sedangkan kita semua pun tahu, kesalahan terhebat yang paling akhir menimpa France adalah akibat dari kebodohan Lou.
Meski demikian, cara-cara Dumont dalam menangani setiap momen emosional (terutama sedih) yang dialami France sudah sesuai kebutuhan. Penonton, melalui visual, mendekat dengan lambat menuju diri tokoh utama kita. Memberi waktu bagi penonton agar dengan saksama memperhatikan akting Seydoux, bahkan ikut bersimpati pada masalah hidupnya. Beberapa kali kekuatan olah peran dia mampu membuat penonton turut merasakan kesedihan dan penderitaannya. Sebagaimana yang dia utarakan kepada psikolog, “It’s very painful. I’m unhappy.” Pada saat yang sama, dia juga masih harus menyiarkan berita tentang peperangan.
France pun banyak menggunakan warna merah untuk sang bintang televisi. Gairah dan hasrat untuk terus bergerak maju dengan cepat, serta keliaran dalam berpikir. Belakangan setelah France kian merasa “sesak” oleh pemberitaan mengenai dirinya sendiri serta dorongan dari masyarakat, Dumont membuat tokohnya tersebut lebih sering mengenakan warna-warna lain dengan nuansa lebih netral.
Durasi panjang, tampaknya menjadikan film ini dapat membuka kemungkinan bahasan ke lebih banyak aspek. Walau jarak jauh antarkonfliknya terlalu lama, hingga melahirkan kebosanan. Tidak terlampau amat buruk memang. Hanya saja, pengabaiannya terhadap kemungkinan bosan karena durasi lama tidak dicermati olehnya dengan baik. Terlepas dari itu, sosok France dengan segala masalah hidupnya yang tiba-tiba langsung menerpa seusai insiden menabrak seseorang di jalan hampir mustahil ada di dunia nyata. Namun ya, bagaimanapun, terkadang medium film dengan serba tiba-tiba dan berbagai kebetulannya bisa dimaklumi, bisa pula tidak. France berdiri di posisi yang hampir sepenuhnya masuk dalam kategori tidak bisa dimaklumi.