Mengakhiri musim panas tahun ini, satu lagi film aksi fiksi-ilmiah adaptasi seri kartun/komik dirilis, yakni GI JOE: Rise of the Cobra. Film ini diarahkan oleh Stephen Sommers, sineas yang mengarahkan dua seri sukses, The Mummy (1999) dan The Mummy Returns (2001) Bermain di dalamnya adalah aktor-aktris muda pendatang baru seperti, Sienna Miller, Channing Tatum, Rachel Nichols, Marlon Wayan, Adewale Akinnuoye-Agbaje serta Dennis Quaid.
Dari rangkuman cerita diatas sudah tampak jika tempo plotnya berjalan cepat serta menjanjikan adegan-adegan aksi tiada henti sejak awal hingga akhir. Nyaris sepanjang film penonton tidak diberi waktu rehat. Sebagai jeda sineas memanfaatkan adegan kilas-balik untuk memberi waktu sedikit pada penonton mengambil nafas. Mirip seperti plot Transformers 2 baru lalu film ini minim sentuhan manusiawi hanya (sedikit) tertolong oleh hubungan roman antara Ana dan Duke. Penggalan kilas-balik dua karakter eksentrik, Snake Eyes dan Storm Shadows disajikan singkat tanpa jiwa dan karakter-karakter lain seperti Heavy Duty, Ripcord, Scarlett, serta Breaker tidak mendapatkan latar-belakang yang memadai. Lantas siapa mau peduli dengan mereka?
Sommers sudah terbukti piawai dengan plot aksi sejenis namun sayangnya kali ini kembali ia mengulangi kegagalan Van Helsing/2004 dengan menghilangkan sentuhan humornya yang khas. Dalam film-filmnya macam Deep Rising (1998) serta dua seri awal The Mummy, Sommers sepanjang filmnya mampu memadukan efektif antara aksi dan komedi menghasilkan adegan-adegan segar yang sangat menghibur. Usaha tersebut sepertinya ingin dicapai melalui karakter Ripcord namun karakter berkulit hitam ini terlalu lemah. Sommers juga rupanya ingin bernostalgia dengan menghadirkan sesaat bintang-bintang The Mummy, seperti Brendan Fraser, Kevin J. O’Connor, serta. Senjata Nanomyte sendiri mirip dengan ribuan serangga mematikan film seri pertama tersebut.
GI JOE semata-mata menggunakan jiwa dan semangat seri kartunnya yang memang full action. Keunikan GI JOE adalah penggunaan perlengkapan serta persenjataan tempur super canggih yang ditampilkan cukup lumayan dalam filmnya, seperti pesawat tempur, mobil SUV, hingga kapal selam. Bicara sekuen aksi hanya ada satu komentar.. fun but ridiculous! Satu contoh sekuen aksi pengejaran seru di kota Paris. Sekuen ini memang seru dan menarik tapi sekaligus konyol! Mereka berusaha mencegah mati-matian Baroness dan Storm Shadow yang akan menggunakan nanomyte untuk menghancurkan Menara Eiffel dan kota Paris. Ada nyawa manusia yang ingin diselamatkan disini. Hei…tapi coba perhatikan bagaimana para GI JOE dengan begitu brutal merusak dan menghancurkan apa saja yang mereka lewati tanpa sedikitpun memedulikan manusia disekitarnya. GI JOE juga sangat mengandalkan teknologi CGI untuk menopang filmnya namun untuk film sekelas ini rekayasa visual yang ditampilkan tergolong kasar. Shot gurun pasir dan sekuen pertempuran bawah laut terlalu tampak seperti film animasi.
Ada dua hal yang mencuri perhatian sepanjang filmnya yakni, karakter Ana/Baroness (Sienna Miller) dan Scarlett (Rachel Nichols). Oh man… they’re both look gorgeous. Dua cewek maskulin ini begitu modis dan anggun tiap kali muncul, lebih dari sekedar pemanis belaka. Dua karakter ini mengingatkan pada karakter Carrie Ann Moss dalam The Matrixdan Kate Beckinsale dalam Under World. Sebagai penutup, GI JOE secara umum adalah film yang sangat menghibur khususnya untuk penonton remaja. Entah mengapa seperti halnya Transformers 2 baru lalu, remaja masa kini lebih menyukai film aksi-aksi “modern” dengan plot dangkal dan mudah ditebak sejenis ini. Kisah filmnya yang berakhir mengambang masih menyisakan cerita untuk sekuel berikutnya. Semoga kelak sekuelnya bisa lebih baik. (C)