Ghostbusters: Frozen Empire merupakan sekuel dari Ghosbusters: Afterlife (2021) yang merupakan kontinuitas dengan seri orisinalnya yang rilis pada era 1980-an. Dengan hasil box-office (Afterlife) yang tak begitu memuaskan, rupanya masih dianggap cukup untuk diproduksi sekuelnya. Frozen Empire masih dibintangi para pemain Afterlife, yakni Paul Rudd, Carrie Coon, Finn Wolfhard, Mckenna Grace, Kumail Nanjiani, Celeste O’Connor, serta kasting lamanya, antara lain Bill Murray, Dan Aykroyd, Ernie Hudson, Annie Potts, dan William Atherton. Apakah di tangan sineas baru, Gil Kenan, sekuelnya ini bakal melewati kualitas seri terdahulu?

Gary (Rudd) dan keluarga Spengler, Callie (Coon) dan putra-putrinya, Trevor (Wolfhard), dan Phoebe (Grace), akhirnya pindah ke markas lama Ghosbusters di Kota New York. Tim ini kini mendapat ujian hebat dari sang mayor karena dianggap menganggu ketertiban kota melalui aksi ugal-ugalan mereka ketika mengejar hantu buruannya. Phoebe yang masih di bawah umur juga tidak dibolehkan lagi beraksi, sekalipun ia adalah otak dari timnya. Sementara member lawas Ghosbusters, Winston dan Ray, beserta anak buah mereka, rupanya membangun fasilitas baru untuk pengembangan teknologi penangkap hantu juga dikarenakan tempat penampungan hantu di markas lama telah penuh. Ketika sebuah artifak kuno ditarik entitinya, ini membangkitkan satu kekuatan jahat yang ingin membuka portal kedua dunia.

Seperti sebelumnya, filmnya mencoba membangun tim baru dengan masih menghadirkan tim lama. Kali ini, kedua tim berbaur secara dominan dalam plotnya dan bahkan beraksi bersama dalam adegan klimaksnya. Sisi nostalgia bagi para fas lawasnya bakal lebih terpuaskan di sini. Namun, sayangnya tak banyak aksi yang bisa kita lihat, kecuali opening dan ending. Di antara keduanya, tidak ada konflik menarik yang mampu membangkitkan minat kita untuk mengikuti kisahnya. Padahal, plotnya terasa bergerak ketika aksinya muncul. Semua kelokan plot mudah diantisipasi dan ini yang membuat plotnya terasa melelahkan

Baca Juga  How to Train Your Dragon

Baik sisi misteri maupun drama terasa datar, berbeda dengan film sebelumnya. Sisi komedi pun tak cukup kuat untuk mengangkat plotnya, kecuali dalam beberapa momen sosok sang firemaster (Nanjiani) cukup mencuri perhatian. Nyaris dari semua kastingnya, tidak ada karakter yang menarik untuk kita ikuti. Untuk sosok lawasnya, hanya Dan Aykroyd dan Ernie Hudson yang tampil dominan dan Bill Murray, tak banyak muncul. Satu kelebihan sekuelnya ini hanyalah set markas lawas Ghosbusters dengan segala propertinya, termasuk mobil andalannya yang ikonik.

Selain sensasi nostalgia, tak ada lagi yang ditawarkan Ghosbusters: Frozen Empire dari semua aspeknya. Film ini tak cukup kuat untuk memberi satu tontonan hiburan yang membekas dan tanggung dalam banyak hal. Melihat angka raihan film sebelumnya, sekuelnya ini rasanya tidak akan cukup kuat untuk menarik fans lawasnya yang kini setidaknya berumur 40-an. Kehadiran film sekuelnya ini memang sungguh sangat mengherankan, terlebih diproduksi dengan bujet cukup besar (USD 100 juta). Penonton masa kini butuh sesuatu yang lebih menarik daripada sosok monster es yang membekukan seluruh kota New York. Bahkan jika Paul Rudd beganti kostum menjadi manusia semut raksasa pun tetap tak akan menolong.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaTanduk Setan
Artikel BerikutnyaKukejar Mimpi
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.