Saya masih ingat betul menonton Gladiator di bioskop dengan perasaan yang sangat terpuaskan. Siapa sangka, 24 tahun setelahnya, sekuelnya diproduksi, Gladiator II, dan masih digarap sineas kawakan, Ridley Scott. Entah apa motifnya, tetap saja ini kita nantikan penuh harap. Gladiator II dibintangi oleh Denzel Washington, Paul Mescal, Pedro Pascal, Joseph Quinn, Fred Hechinger, serta kembali bermain yakni Connie Nielsen. Dengan bermodal mega bujet 250-310 juta dan talenta spesialis sang sineas, akankah sekuelnya ini mampu mengimbangi film sebelumnya yang banyak dianggap sebagai salah satu film terbaik di genrenya?
Sebelumnya, saya mencoba menegaskan pembaca satu hal sebelum membaca ulasan ini. Informasi tentang identitas peran Paul Mescal dalam film ini telah diberitakan dalam banyak media bahkan hingga trailer-nya, bahwa ia adalah Lucius Verus Aurelius, putera dari Lucilla, cucu dari Marcus Aurelius. Lucius sendiri masih seorang bocah cilik dalam plot Gladiator. Bagi yang menonton Gladiator tentu paham betul bahwa informasi ini adalah krusial dalam plot sekuelnya. Entah mengapa, ini banyak di-”bocorkan” media masa dan situs film besar di mana-mana sehingga saya tidak lagi menganggap ini sebuah spoiler.
Plotnya mengambil kisah dua dekade setelah peristiwa dalam Gladiator di mana situasi Roma kini tengah panas, dipimpin raja kembar, Geta (Quinn) dan Caracalla (Hechinger) yang gemar dengan aksi gladiator. Sementara Jendral Acacius (Pascal) justru berperang jauh di seberang untuk mengukuhkan wilayah Roma di Numidia, Afrika Utara. Para pejuang Numidia yang masih hidup, termasuk seorang ksatria tangguh (Mescal) dibawa ke Roma untuk dijadikan gladiator yang bertarung di arena. Siapa menyangka, sang ksatria ini rupanya memiliki masa lalu yang amat dekat dengan Kerajaan Roma.
Gladiator (2000) banyak dianggap kritikus sebagai film klasik instan yang merupakan contoh terbaik genre epik sejarah di era modern. Scott menggarapnya dengan sempurna memadukan semua talenta artistiknya dengan didukung para kasting berkelas yang menorehkan banyak apresiasi di ajang Academy Awards pada tahun rilisnya. Plotnya bertutur detil dan runtut, nyaman untuk disimak, sekalipun banyak intrik politik di dalamnya. Aksinya adalah satu hal yang menjadi penanda kuat genrenya, melalui koreografi aksi, properti, kostum, hingga ratusan figuran dalam aksi kolosalnya. Seolah kita dibawa ke suasana pertempuran dan aksi arena tarung di masa tersebut. Lantas bagaimana sekuelnya?
Gladiator II adalah sebuah kekacauan besar, khususnya di aspek naskah. Kasus Napoleon yang juga digarap sang sineas, terulang kembali dengan menggunakan tempo alur yang mengalir cepat dari momen ke momen, terutama sejak separuh akhir. Ini membuat kita kehilangan banyak simpati terhadap karakter-karakter utamanya. Plotnya terlihat memaksa dan bergegas sehingga momen yang dibangun sejak awal menjadi lepas. Plotnya silih berganti berpindah ke banyak adegan/karakter tanpa meninggalkan sesuatu yang berarti dan membekas. Bahkan karakter penting, macam Acacius seolah melintas begitu saja tanpa banyak meninggalkan kesan. Hal serupa terjadi pada sosok Macrinus yang diperankan Denzel, serta Geta dan Caracalla. Momen ketika terkuaknya sosok Lucius seolah bukan lagi hal yang menggetarkan dan berdampak besar.
Dari sisi teknis pun jika dibandingkan dengan Gladiator sangat jauh berbeda. Scott seakan tak lagi mampu mengkoreografi satu pertarungan apik sebagai suatu pertujukan yang kolosal dan megah. Tak perlu kita membandingkan segmen opening (perang) yang begitu mengerikan dalam Gladiator. Pilih satu adegan aksi di arena coloseum, tidak ada satu pun yang sepadan dengan seluruh aksi pada sekuelnya. Padahal, kini teknologi CGI jelas jauh dari dua dekade silam. Satu faktor lagi yang di luar ekspektasi adalah ilustrasi musik yang terasa hambar nyaris sepanjang filmnya. Bahkan musik penutupnya tanpa malu-malu menggunakan score lama-nya. Scott jelas kehilangan komposer kolaboratornya, Hans Zimmer, yang menghasilkan salah satu karya terbaiknya dalam Gladiator. Musik sang komposer yang brilian mampu mengangkat semua adegan aksinya dengan tone heroiknya yang menghentak.
Are you not entertained? Gladiator II berada di bawah bayang-bayang superioritas film sebelumnya dari seluruh aspeknya, khususnya naskah. Gladiator II, singkatnya adalah satu upaya sineas yang lagi-lagi gagal. Entah, rumor mengatakan bahwa Gladiator III tengah dalam pengerjaan naskahnya. Kekacauan apalagi yang kelak bakal dihadirkan. Gladiator sendiri sesungguhnya bukan lawan film-film epik sejarah era klasik, misal saja Benhur (1959) yang berstatus masterpiece. Namun, ketimbang sekuelnya, menonton ulang Gladiator adalah solusi yang lebih bijak dan menyenangkan.