Gods of Egypt (2016)

127 min|Action, Adventure, Drama|26 Feb 2016
5.4Rating: 5.4 / 10 from 127,987 usersMetascore: 25
Mortal hero Bek teams with the god Horus in an alliance against Set, the merciless god of darkness, who has usurped Egypt's throne, plunging the once peaceful and prosperous empire into chaos and conflict.

Apa yang menarik dari Gods of Egypt hingga saya tertarik untuk menontonnya? Sejak trailer-nya yang penuh dengan efek visual muncul sebenarnya sudah terlihat gelagat buruk film ini. Alam fantasi tentang dewa-dewi memang topik yang menarik untuk difilmkan di luar dewa-dewi Yunani yang sudah sering kita lihat. Ini pun bukan alasan mengapa saya menonton film ini namun alasannya adalah Alex Proyas. Saya mengagumi beberapa film karyanya, Dark City dan Knowing. Dark City khususnya, hingga saat ini masih saya anggap sebagai film fiksi-ilmiah terbaik yang pernah ada.

Gods of Egypt menampilkan perseteruan antar dewa yang kurang menarik. Alkisah dewa Set berambisi untuk menjadi Raja Mesir dengan cara anarkis. Sang raja yang juga saudara kandungnya, Dewa Osiris yang tengah mengangkat anaknya menjadi raja, Horus, dibunuh secara sadis. Horus diambil kedua bola matanya dan diasingkan. Alkisah Bek, seorang pemuda biasa yang mendambakan kehidupan yang damai berusaha menolong Horus dengan dibantu sang pacar, Zaya. Di lain tempat, Set ternyata tidak hanya berambisi menjadi raja namun juga ingin memusnahkan kehidupan untuk memulainya dengan yang baru dengan menantang ayahnya sendiri, Ra, Dewa Matahari.

Plot macam ini sepertinya sudah menjadi plot standar jika menyangkut para dewa. Satu dewa ingin perang dan menguasai alam semesta dan yang lain ingin dunia yang harmonis dan damai. Mereka bersaudara dan hidup abadi namun entah mengapa mereka tidak pernah akur dan masih menginginkan lebih. Gods of Egypt menawarkan plot yang kurang lebih sama, adanya campur tangan manusia, sedikit menambah sisi manusiawi namun tetap saja tidak mampu menolong kisahnya yang secara keseluruhan yang terlalu mengada-ada. Untuk film fiksi fantasi model begini, konsep seliar apapun bukan masalah, hal yang mustahil bisa saja terjadi, namun tetap saja harus ada aturan mainnya.

Baca Juga  Mary Poppins Returns

Ide cerita sebenarnya menarik jika saja sisi dramatik filmnya lebih ditonjolkan ketimbang aksi. Film ini tidak mampu dan tidak ada usaha untuk membuat kita care dengan dewa-dewi tersebut. Siapa peduli jika mereka semua tewas atau umat manusia musnah? Tidak ada yang peduli. Tempo plot yang demikian cepat dan dominasi aksi membuang semua momen-momen dramatik. Sang sineas, Proyas, yang biasanya mampu membuat twist-twist hebat dengan tingkat dramatik tinggi kali ini tidak mampu berbicara banyak.

Gods of Egypt sebenarnya memiliki ide yang menarik namun naskah yang terlalu mengada-ada serta dominasi aksi CGI yang hingar bingar dan bising menjadikan film ini kandidat film terburuk tahun ini. Sekalipun belum tentu film ini gagal komersil (dengan bujet US$ 140 juta) namun menjadi pertanyaan besar untuk sineas macam Alex Proyas. Apa yang ia pikirkan hingga ia mau memproduksi film macam ini? Dua dekade lalu saya masih mengikuti anime populer, Saint Seiya, saya membayangkan seperti apa idealnya jika film tersebut dibuat film live-action. Gods of Egypts mendekati imajinasi saya.

Watch Trailer

PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaPrediksi Oscar: Film Terbaik – Versi Editor
Artikel BerikutnyaPemenang Academy Awards 2016
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.