Siapa yang tak mengenal gim balap mobil Gran Turismo rilisan Playstation yang makin versi terkini makin nyata. Gim ini akhirnya diangkat ke layar lebar melalui kisah nyata pembalap mobil profesional Jann Mardenborrough yang berasal dari pemain gimnya. Gran Turismo diarahkan oleh sineas kawakan Neill Blomkamp yang kita tahu menggarap film-film sci-fi berkelas, yakni District 9, Elysium, hingga Chappie. Film ini dibintangi oleh David harbour, Orlando Bloom, Djimon Hansou, serta pendatang baru Archie Madekwe sebagai Jann. Film berdurasi 134 menit ini diproduksi dengan bujet hanya USD 60 juta. Mampukah film ini memenuhi ekspektasi para fans gimnya?
Jann Mardenborough (Madekwe) adalah pemain gim kawakan Gran Turismo asal Inggris. Ayahnya selalu menyepelekan hobi sang putra yang dianggap bukan sebuah kegiatan yang memberikan potensi pekerjaan yang riil. Suatu ketika gim Gran Turismo melalui perusahaan mobil Nissan mengadakan kamp pelatihan balap mobil sungguhan (GT Academy) untuk para pemain terbaik gimnya. Pemenangnya akan berhak ikut dalam lomba balap mobil profesional mewakili pabrikan Nissan. Ide gila ini datang dari seorang eksekutif marketing Nissan, Danny Moore (Bloom) yang merekrut mekanik profesional Jack Salter (Harbour). Jann yang terpilih menjadi salah satu peserta harus membuktikan dirinya bahwa insting bermain gimnya bisa bekerja di lomba balap sungguhan di antara semua ekspektasi miring dari semua pihak.
Bagi pecinta gimnya dan lomba balap mobil (F1) seperti saya, Gran Turismo serasa membawa kita ke langit ke tujuh. Sejak pedal gas pertama didorong hingga garis finis semuanya mampu memberikan kepuasan estetik yang hebat. Aksi yang didominasi balap mobil di trek balapan serasa persis bermain gimnya dengan segala atribut dan gimmick-nya (gimnya). Melalui sisi sinematografi, seperti sudut kamera, pergerakan, hingga teknik editingnya yang dinamis mampu menyajikan salah satu aksi balap terbaik dalam medium film. Segala pencapaian teknisnya mampu membawa kita 100% masuk ke dalam aksi balapnya hingga durasi lebih dari dua jam sama sekali tak akan kita rasakan. Entah apakah pengalaman penonton awam (non pemain gim) bakal mendapat sensasi sejauh ini?
Untuk kisahnya, Gran Turismo menyajikan kisah tipikal plot biografi olahraga yang tak sulit diantisipasi arah kisahnya. Kisahnya adalah pada proses bukan hasil akhir. Jujur, awal menonton memang terasa konyol kisahnya. Balap mobil profesional, seperti saya tahu, bukanlah profesi yang main-main karena menyangkut nyawa dan keselamatan orang lain. Namun, lambat laun kisahnya mulai merasuk secara pasti. Chemistry hangat antara Jann dengan Jack memang menjadi satu kekuatan kisahnya. Segmen aksi klimaks yang memesona serta menjelang ending-credit-nya mengingatkan pada kita jika cerita ini sungguh-sungguh terjadi. Walau terasa absurd, namun ini adalah fakta terlepas sedramatik apa pun naskahnya dibuat.
Lupakan kisah dan drama tipikalnya, Gran Turismo adalah film bagi pecinta gimnya dan lomba balap mobil dengan segala capaian estetiknya. Untuk Blomkamp sendiri ini tercatat adalah film nonfiksi-ilmiah pertamanya yang secara kualitas naratif merupakan kemunduran dari tiga filmnya di atas. Sisi cerita memang bukanlah menu utama yang menjadi jualan Gran Turismo. Potensi puluhan juta penikmat gim-nya bakal menjadi target pasar strategis filmnya. Menjadi pertanyaan besar, apakah film ini mampu sukses komersial di tengah situasi pasar tak menentu seperti sekarang? Kita lihat saja. Bujet yang hanya USD 60 juta sungguh bakal mampu menolong, tidak seperti para kompetitor film-film blockbuster sebelum ini. Satu hal yang jelas, di gedung teater besar tempat yang saya menonton hanya terisi segelintir saja penonton.