Seorang pria menunggu kekasihnya sambil membawa buket bunga. Namun tiba-tiba, ia berubah pikiran. Ia malah kemudian membeli tiket kapal ke Singapura. Kekasihnya, Molly, maklum dengan tingkah laku Edward. Ia mengejarnya. Aksi kejar-kejaran ke berbagai negara di Asia ini dibidik dengan unik dan memikat oleh Miguel Gomes dalam filmnya, Grand Tour. Film ini meraih Best Director di Festival Film Cannes 2024. Film ini juga mewakili Portugal di ajang Oscar untuk kategori Best International Feature Film. Penulis menonton film ini di Jakarta World Cinema 2024.
Edward (Gonçalo Waddington) yang merupakan pegawai Inggris di Rangoon, tidak tahu angin apa yang mendorongnya untuk kabur dari kekasihnya yang dikenalnya bertahun-tahun. Bahkan mereka seharusnya akan menikah dalam waktu dekat. Ia ketakutan dan bergegas untuk kabur setiap kali mendapat telegram dari Molly di tempat persembunyiannya. Rute kaburnya cukup jauh dan melelahkan, melalui berbagai negara, dari perairan hingga wilayah pegunungan yang curam.
Molly (Crista Alfaiate) menutupi kegelisahannya yang dengan senyuman dan tawa. Ia sebenarnya cemas dan sedih dengan sikap Edward. Namun ia ingin jawaban, sehingga ia nekat untuk terus mengejarnya. Hingga suatu ketika seorang saudagar kaya-raya yang dijumpainya di kapal melamarnya.
Cerita Grand Tour ibarat kejar-kejaran ala Around the World in 80 Days, namun dengan kondisi tahun 1918 yang terasa lebih realistis dan berfokus pada sepasang kekasih. Seperti kisah-kisah perjalanan, penonton diajak menyelami keindahan dan pesona dari tiap daerah. Dalam film ini rute yang dibidik adalah Asia, khususnya Asia Tenggara dan Asia Timur. Perjalanan berawal dari Rangoon, Burma, menuju Singapura, Bangkok, Saigon, dan Manila baik melalui jalur laut atau darat. Perjalanan kemudian berlanjut ke Osaka, Shanghai, Chongqing, Chengdu, dan Sichuan.
Tempat-tempat yang dipilih bukan rute turis pada umumnya. Ada kalanya Edward terlihat dipanggul di hutan menuju ke gunung. Kemudian ia nampak bersama para biksu Jepang, komusō, yang menggunakan keranjang rotan menutupi kepalanya. Kemudian ia nampak bersantai menyaksikan para panda di hutan.
Sepertinya Miguel Gomes bersama tiga tekan penulisnya, Telmo Churro, Maureen Fazendeiro, dan Ariana Ricardo ingin bersenang-senang dalam menyampaikan kisah cinta yang melibatkan petualangan ke daerah-daerah Asia yang eksotis. Dalam menyampaikan gagasan dan pesannya, Miguel Gomes bersama para kameraman, Gui Liang, Sayombhu Mukdeeprom, dan Rui Poças juga bereksperimen dan bereksplorasi sehingga menyajikan gambar-gambar yang tak biasa.
Ya, Miguel Gomes ingin menyampaikan kisah cinta dalam bahasa visual yang tak kalah romantis dan epik. Ia menggunakan format hitam putih dan warna dalam film ini. Gaya bertuturnya ia sampaikan dari sisi Edward, baru dari sisi Molly. Tak banyak dialog di sisi Edward. Cerita banyak disampaikan oleh narator. Sementara adegan Molly banyak diisi oleh tawa Molly yang renyah namun lama-kelamaan terasa mengganggu.
Selain adegan Edward yang sibuk memesan tiket dan kabur, kamera banyak menyajikan gambar-gambar pertunjukan seni dari berbagai negara. Ada berbagai pertunjukan wayang dari berbagai negara, kemudian juga ada panjat pinang ala Rangoon. Tradisi dan ritual komusō juga menarik perhatian.
Visual memang unggul di film ini, namun sayang ceritanya agak datar dan arahnya kurang jelas sehingga di beberapa bagian agak bikin mengantuk. Bagian akhirnya dibiarkan apa adanya, sehingga penonton bisa bebas berintepretasi tentang nasib Edward dan Molly. Sebuah film perjalanan dengan visual yang epik dengan bumbu komedi ringan. Unsur kultur yang diangkat dalam film ini juga kuat. Hanya ceritanya agak berlarut-larut seperti sengaja dibuat agar melodramatis.