Film tentang sosial media kini makin sering diangkat medium film, namun tak banyak yang bicara dampaknya bagi keluarga. Grimcutty adalah film horor thriller unik arahan dan ditulis John Ross. Film rilisan platform HULU ini dibintangi oleh Sara Wolfkind, Shannyn Sossamon, Usman Ali, dan Callan Farris. Lantas bagaimana film berdurasi 101 menit ini mengemas isunya?

Satu kota kecil di pinggiran, dilanda satu wabah aneh. Entah dari mana asalnya, remaja dan anak-anak pengguna sosial media mampu berbuat anarkis terhadap orang tua dan dirinya sendiri. Sejak para orang tua mengetahui hal ini, mereka membatasi putra putri mereka dari penggunaan sosial media (handphone), termasuk gadis remaja, Asha (Wolfkind). Asha pun diteror sosok supernatural berwajah seram bernama Grimcutty yang mengincar nyawanya. Namun, anehnya kedua orang tuanya tidak mampu melihat sosok monster tersebut, justru Asha yang terlihat menyakiti dirinya sendiri. Dalam ruang gerak yang terbatas, Asha berusaha mencari tahu asal teror yang menimpa kotanya.

Melalui premis yang menarik, pesan film ini jelas mengarah ke mana. Masalah adalah bukan pada isunya, namun adalah bagaimana isu tersebut dieksekusi melalui kisahnya. Banyak pertanyaan tak terjawab. Dari mana sebenarnya sang monster tersebut muncul? Sosok ini begitu saja muncul tanpa penjelasan berarti. Metafora tidak begitu saja lahir tanpa argumen yang memadai atau setidaknya sedikit saja memiliki nalar. Apakah power of mind yang menyebabkan wujud iblis tersebut muncul? Kasus seperti The Babadook (trauma) bisa menjadi argumen, namun rasanya tak masuk akal bila bekerja secara kolektif dalam jumlah besar dalam waktu bersamaan pula. Naskahnya terlalu malas untuk memberikan solusi yang cerdas.

Di luar pesannya, film ini beberapa kelebihan dari sisi akting dan pengadeganan horornya yang tentu tak lepas dari sentuhan sang sineas. Bintang remaja, Sara Wolfkind bermain apik sebagai remaja yang terintimidasi secara fisik dan psikologis dari sosok sang monster dan orang tuanya. Kelebihan lain pula adalah sisi horornya, khususnya teror sang monster, yang disajikan begitu menegangkan dengan tone yang suram. Efek trik horornya mirip It Follows, di mana sang monster tidak bisa dilihat oleh orang lain. Secara teknis sang sineas mampu mendukung sisi ketegangan dan misteri dengan baik.

Baca Juga  The Way Back

Premis menarik melalui isu dampak sosial media bagi keluarga, namun Grimcutty memiliki plot yang sulit diterima nalar. Tidak seperti film horor atau aksi bertema sama yang lazimnya berdampak pada generasi milineal dan menimbulkan efek jera. Kini yang disasar adalah para orang tua. Sang monster adalah manifestasi ketakutan dan rasa cemas terhadap putra-putri mereka. Semakin besar rasa cemas, semakin besar pula kekuatan sang monster. Solusinya sederhana: komunikasi. Film ini terlalu gamblang dalam menyatakan opininya. Selamat menonton!

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaFrance (Festival Sinema Perancis)
Artikel BerikutnyaA Radiant Girl (Festival Sinema Prancis)
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.