Guardians of the Galaxy Vol. 3, seri yang sudah dinanti (atau mungkin tidak) dan rasanya menjadi karya terakhir sang sineas James Gunn di Marvel Studios. GOTG Vol.3 tercatat adalah film ke-32 dari Marvel Cinematic Universe (MCU). Wow, tanpa terasa sudah sebanyak itu. Film ini masih dibintangi aktor-aktris regulernya, seperti Chris Pratt, Zoe Saldaña, Karen Gillan, Dave Bautista, Pom Klementieff, Bradley Cooper (suara), Vin Diesel (suara) dengan didukung pula, Elizabeth Debicki, Will Poulter, Chukwudi Iwuji, serta Silvester Stallone. Apakah film ini bakal mengikuti tren beberapa film MCU terakhir yang kini tengah turun pamor?

Tim Guardians of the Galaxy kini memiliki markas besar di Knowhere dengan ratusan pengikutnya. Tak ada angin tak ada hujan, satu sosok tangguh bernama Adam Warlock (Poulter) menyerang Knowhere untuk mengincar Rocket. Walau berhasil mengusir Warlock, namun harus dibayar mahal dengan Rocket (Cooper) yang terluka parah. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan sobat mereka adalah dengan mendapatkan sebuah kode rahasia yang berada di lokasi di mana Rocket diciptakan, Orgosphere. Rencana ini rupanya tidak semudah yang mereka pikir karena sosok pencipta Rocket, seorang ilmuwan edan bernama High Evolutionary (Iwuji) menjadi otak di balik semua kericuhan ini.

Setelah Thanos, lantas apa lagi? Setelah semua tragedi yang terjadi pasca Endgame adalah bukan hal yang mudah bagi film-film MCU untuk melanjutkan kisahnya. Satu hal yang kita dapatkan berjalannya waktu adalah kelelahan luar biasa termasuk kita yang menonton. Kisahnya tidak lagi personal dan membumi, namun demi “kebaikan” semesta sinematiknya, konflik cerita pun meluas merambah ke dimensi/ranah lain yang sebelumnya tidak pernah atau belum banyak dijamah, entah itu multiverse, quantum realm, dunia dewa, entah apa lagi besok. Sementara GOTG Vol.3 mencoba merangkai serpihan dari masa lalu tanpa bersusah payah memaksa untuk mencari ranah baru. Sosok Rocket pun menjadi titik pemicunya.

Baca Juga  The Day The Earth Stood Still

Melalui film-film sebelumnya, kita sudah mengenal betul semua sosok dan karakter tim GOTG dengan segala polahnya. Mereka tidak ada yang berubah, kecuali Peter yang masih patah hati meratapi kepergian Gomora. Itu pun hanya sesaat ketika situasi berubah drastis dengan usaha berpacu waktu untuk menyelamatkan Rocket. Gomora “versi Endgame” pun dipaksa hadir kembali dengan karakternya yang kontras dari versi aslinya. Gomora baru ini teramat efektif membuat perubahan sikap bagi Peter, Nebula, Mantis, termasuk pula dialog banyolan dan emosional di antara mereka. Chemistry perseteruan di antara mereka jauh lebih menggairahkan dan menyentuh ketimbang konflik masa lalu Rocket dan rekan-rekan hewannya. Adam Warlock yang polos demikian pas diperankan oleh Will Poulter seolah pula mengingatkan kita pada sosok super di masa-masa awal MCU.

Melalui pesona karakter dengan segala kekonyolannya, The Guardians of The Galaxy Vol. 3, mengembalikan semua mood yang hilang dari semesta sinematiknya pasca Avengers: Endgame. Anehnya, kita sekarang tidak lagi mencari aksi-aksi heboh, namun justru menunggu lelucon dan polah konyol karakternya, walau CGI-nya kini jauh lebih natural ketimbang film Antman terbaru lalu. Walau tak sehangat seperti seri pertamanya, namun seri ketiga ini mampu memberi momen dramatik yang cukup. Tak lebih, tak kurang. Jika banyak orang mengatakan ini adalah penutup seri GOTG, rasanya salah besar. Peter dan kawan-kawannya memang tak bisa lagi memberi celah cerita yang baru, namun dengan karakter-karakter barunya, ini bisa membuat masa depan mereka lebih berwarna. Walau rasa lelah masih terasa, namun nuansa komedinya setidaknya membuat film ini menjadi paling menghibur sejak Endgame. Perpisahan lebih tepatnya adalah untuk sosok James Gunn yang kini harus meladeni dengan sabar pesaing besar Marvel Studios.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaPalm Trees and Power Lines
Artikel BerikutnyaAngel: Kami Semua Punya Mimpi
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Pada tahun yang sama, ia juga menjadi pengajar intensif Mata Kuliah Kritik Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.