Sutradara : Sony Gaokasak Produser : Chand Parwes Servia
Pemain : Reza Rahadian / Nirina Zubir / Chantiq Schagerl / Mike Lewis / Fathir Muchtar
Sinematografi : Bambang Supriadi
Naskah : Armantono
Musik : Tya Subiakto
Editing : Cesa David Lukmansyah
Durasi : 106 menit
Hafalan Shalat Delisa merupakan film yang diangkat dari novel best seller berjudul sama karya Tere Liye. Film ini diproduksi untuk mengenang tujuh tahun tragedi tsunami Aceh, 26 Desember 2004. Alkisah Delisa (Chantiq Schagerl) adalah gadis kecil yang periang, hidup penuh kasih di daerah Lhok Nga bersama Ubi Usman (Reza Rahadian) yang bekerja di kapal minyak milik perusahaan luar negeri. Bersamanya pula Ummi Salamah (Nirina Zubir), serta kakak-kakaknya Fatimah, si kembar Zahra dan Aisyah. Ummi Salamah selalu memberikan hadiah kepada anak-anaknya saat sudah hafal bacaan shalat berupa kalung. Hanya si bungsu Delisa yang belum mendapatkan hadiah karena belum hafal bacaan shalat. Tanggal 26 Desember, Delisa bersiap untuk ujian hafalan shalatnya dengan Ustad Rahman. Namun tak disangka-sangka bencana hebat terjadi meluluhlantahkan segalanya.
Film ini adalah kali kedua Sony Gaokasak menjadi sutradara setelah film debutnya, Tentang Cinta (2007). Sutradara yang seharusnya memiliki pengalaman lebih untuk menghasilkan film drama menguras air mata ini. Seperti film kita kebanyakan, Delisa masih juga memiliki kelemahan yang sama dari sisi cerita seperti kurang rincinya penjelasan cerita sehingga beberapa adegan terlihat dipaksakan. Pendalaman karakter juga masih jauh dari cukup. Namun sepertinya untuk penonton anak-anak (jika memang ini yang menjadi target pasarnya) film ini sudah lebih dari cukup. Secara keseluruhan, film ini tak jauh beda dari film-film kita yang sekarang sedang mencoba untuk menguras paksa airmata penonton.
Hafalan Shalat Delisa diakui mampu menguras airmata para penonton di beberapa adegan. Ini juga berkat kepiawaian para pemainnya. Reza Rahadian, peraih Piala Citra Pemeran Pria Terbaik 2010 ini berakting total dan memukau dan Nirina Zubir serta Fathir Muchtar mampu mengimbangi. Chantiq Schagerl dalam penampilan akting debutnya mampu menghidupkan peran Delia yang periang dan optimis yang menjadi pusat perhatian. Meskipun begitu, Mike Lewis dan Loide Christina Teixeira harus diasah lebih dulu kemampuan aktingnya agar tidak canggung dan mampu membaur dengan kemampuan pemeran lainnya. Kelemahan lain adalah kasting. Delisa dan kakak-kakaknya tampak seperti bukan saudara kandung. Pemeran juga tidak dipersiapkan dengan matang untuk dapat benar-benar fasih dalam dialek Aceh, ini tentu menggangu performa dan otentitas lokasi cerita.
Hal lain yang patut mendapat pujian adalah setting. Walau tragedi Tsunami telah berlangsung beberapa tahun silam dan masih menyisakan puing-puing disana-sini namun pilihan-pilihan lokasinya cukup meyakinkan serta mampu menggambarkan betapa luas dan dahsyatnya wilayah bencana yang terjadi. Sekalipun efek khususnya tidak bisa kita bandingkan dengan film barat namun visualisasi Tsunami di film ini sudah cukup baik walau tampak sedikit kasar di beberapa bagian. Film ini juga tertolong oleh ilustrasi musik yang digawangi Tya Subiakto, mampu mendukung suasana dan memberikan kesan haru yang dramatis. Setidaknya walaupun merasa mengambang, penonton akhirnya terseret arus kesedihan yang menyentuh hati.