Kisah tokoh besar Islam, Buya Hamka berlanjut. Sekaligus agak lebih banyak menyoroti kesetiaan cinta antara Buya dan sang istri daripada sebelumnya, dalam Hamka & Siti Raham Vol. 2. Masih lewat arahan Fajar Bustomi, dengan skenario garapan Cassandra Massardi dan Alim Sudio. Juga kolaborasi antara Falcon, StarVision, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Para pemerannya lebih kurang masihlah sama, antara lain Vino G. Bastian, Laudya Cynthia Bella, Marthino Lio, dan Anjasmara, serta ada Yoga Pratama, Roy Sungkono, dan Ajil Ditto untuk peran para putra Buya. Judulnya menyiratkan kisah kali ini akan fokus seputar Buya Hamka dan Siti Raham. Benarkah demikian?
Volume kedua kisah hidup Buya Hamka adalah kelanjutan perjuangannya beserta kesetiaan cinta dari Siti Raham yang senantiasa menemani setiap waktu. Pascaproklamasi kemerdekaan, ternyata Belanda datang lagi ke Indonesia dan melakukan agresi militer. Buya (Vino) dengan beberapa muridnya, termasuk bantuan setianya, Amir (Marthino), pun bergerilya ke desa-desa untuk menyatukan suara yang terpecah-belah. Meninggalkan sang istri, Siti Raham (Bella), dan putra-putri mereka di pengungsian. Ketika tiba kabar bahwa Indonesia berhasil mendesak Belanda hingga berujung negosiasi dan perjanjian, Buya bisa bernapas lega. Rupanya masalah-masalah lain berdatangan kemudian. Namun, dukungan dari sang istri selalu menguatkannya.
Sebagai cerita biopik –apalagi bila bicara dalam koridor kesetiaan cinta sejati, ada ketiga film Habibie & Ainun (2012, 2016, 2019) yang masih teringat jelas. Pun demikian jika soal tokoh bangsa. Keduanya sama-sama punya peran vital dan kisah yang layak disebarluaskan, baik tentang bela tanah air maupun asmara. Walau Hamka & Siti Raham masihlah ihwal dakwah Buya dalam setiap kesempatan. Bahkan, rasa-rasanya film kedua ini lebih banyak lagi menampilkan adegan-adegan dakwah ketimbang sebelumnya. Sampai-sampai beberapa kali tak memiliki kesinambungan alur hanya untuk secara tiba-tiba memasukkan adegan berdakwah. Misalnya, saat tiba-tiba salah seorang anggota keluarga Pramoedya Ananta Toer bertamu, lalu terciptalah momen bagi Buya untuk berceramah panjang lagi.
Begitu pula saat muncul adegan Siti Raham naik panggung untuk berpidato. Pidatonya memang baik, tetapi cara menghadirkannya terlalu patah di tengah alur cerita yang tengah berjalan. Terasa sekali Hamka & Siti Raham banyak melakukan pemampatan cerita, imbas alih wahana dari buku menjadi film. Tampak bingung pula hendak fokus pada peristiwa yang mana. Apakah perjuangan Buya dalam membela bangsa sebagai seorang muslim, cinta sejati antara Hamka dan Siti Raham, ataukah hari-hari selama Buya berada di penjara. Tadinya, judul film ini seakan memberitahukan bahwa Hamka & Siti Raham ialah seputar masa-masa keduanya saat masih muda, bertemu, kemudian menikah. Rupanya bukan.
Sementara itu, visual Hamka & Siti Raham tak jarang pula monoton, karena banyak mengambil adegan-adegan yang sama dalam durasi panjang. Dakwah-dakwah kecil Buya di teras rumah sembari menjawab satu per satu pertanyaan dari setiap orang. Pula momentum saat penyelenggaraan acara besar MUI yang pertama. Bukan soal isi dakwah atau pidatonya (sekali lagi), melainkan bagaimana cara dakwah atau pidato tersebut dihadirkan atau divisualkan. Cukup sering angle-nya sama atau pergerakan kamera kurang variatif, sehingga gambar menjadi tidak terlalu penting untuk disaksikan karena toh sama saja. Dengarkan saja ceramahnya. Perihal kemiripan melalui riasan, semakin lanjut usia Hamka dalam film, kian mirip pula dengan Buya yang asli.
Kendati demikian, Hamka & Siti Raham Vol. 2 tetaplah komprehensif sebagai salah satu film religi dengan eksekusi cukup baik dalam menyampaikan setiap pesannya. Walau beberapa kali monoton secara visual, tetapi format pidato atau orasi memberikan pemakluman dan menghindarkan kesan terlalu menggurui atau preachy. Sebagai film sejarah pula, jelas sekali Hamka & Siti Raham amat terbatas dalam menyajikan latar masa lalu. Sejumlah film Indonesia yang mengisahkan sejarah juga kerap kali demikian. Makin lampau latar waktu sejarah tersebut, kian tampak terbatas pula latar tempat yang muncul. Namun, sebagai film roman, Hamka & Siti Raham mengingatkan kembali tentang kesetiaan dan ketulusan dalam Habibie & Ainun (2012).