Hari Film Nasional diperingati setiap tahun pada tanggal 30 Maret. Menurut beberapa sumber, tanggal ini ditetapkan sebagai Hari Film Nasional karena bertepatan dengan pengambilan gambar pertama film Darah dan Doa (1950) karya Usmar Ismail pada tangggal 30 Maret 1950. Konon, Darah dan Doa merupakan film yang pertama kali dibuat oleh orang Indonesia di bawah Perusahan Film Nasional Indonesia (Perfini), yang juga dibintangi orang lokal. Dengan semangat pascakemerdekaan serta nasionalisme yang tinggi, maka ditetapkanlah hari tersebut sebagai Hari Film Nasional. Merujuk dari sejarahnya, Hari Film Nasional dimaknai sebagai sebuah momentum dan gerakan untuk membentuk sebuah karya film asli Indonesia dengan latar nasionalisme pada masa itu. Sebuah pertanyaan mendasar yang patut kita ajukan adalah, apakah perkembangan perfilman nasional di era sesuai dengan yang dicita-citakan para pendahulu kita? Peringatan Hari Film Nasional membawa kita kepada sebuah refleksi tentang bagaimanakah kondisi perfilman kita hari ini?

     Perkembangan zaman dan teknologi, membawa medium film nasional terus berkembang dan berinovasi dari masa ke masa. Beberapa periodesasi sejarah yang menggambarkan tentang bagaimana perkembangan perfilman nasional, telah memberi sedikit gambaran kepada kita tentang bagaimana film kita berkembang. Dua momentum penting dalam pembabakkan sejarah sinema Indonesia adalah periode era keemasan tahun 1970-1980-an dan era kebangkitan sinema tahun 2000-an. Pada era keemasan tahun 1970-1980-an, karya film secara produktif banyak dihasilkan, dan beberapa diantaranya dianggap sebagai karya masterpiece.  Beberapa sutradara kawakan yang muncul pada era ini diantaranya, seperti Wim Umboh, Sjumandjaja, serta Teguh Karya.

       Selanjutnya, era kebangkitan sinema tahun 2000-an, memunculkan film-film roman remaja dan horor dengan formula baru, yang dianggap sebagai sebuah angin segar bagi industri kala itu.  Hingga kini pun formula ini masih digunakan. Setelah 18 tahun berlalu sejak era kebangkitan sinema digaungkan. Apakah film nasional kita semakin berkembang, ataukah jalan di tempat? Tulisan ini ingin mencoba menganalisis beberapa aspek tentang perfilman Indonesia dilihat dari kuantitas dan kualitas industri film di Indonesia beberapa tahun terakhir.

Perkembangan Industri Film Indonesia

      Untuk melihat animo masyarakat terhadap film Indonesia beberapa tahun terakhir, kita bisa melihat dari jumlah penontonnya. Rekor tertinggi saat ini dipegang oleh film komedi Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 dengan pencapaian angka yang sangat fantastis dengan jumlah penonton sebanyak 6.858.616. Angka tersebut nyaris dikejar Dilan 1990 dengan pencapaian angka yang juga fantastis sebanyak 6.314.722 penonton. Dilan 1990 dinobatkan sebagai film roman remaja terlaris saat ini. Pencapaian angka lebih dari 6 juta penonton di awal tahun 2018 ini, membawa sebuah atmosfer perfilman nasional menjadi lebih bergairah.

     Animo masyarakat terlihat pula dari pencapaian jumlah penonton tahun sebelumnya dengan banyaknya film yang mencapai angka lebih dari 2 juta penonton, yakni Pengabdi Setan (4.206.103), Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2 (4.083.190), Ayat-Ayat Cinta 2 (2.840.159), Danur: I Can See Ghost (2.736.157), Jailangkung sebesar (2.550.271), dan Susah Sinyal (2.172.512). Angka-angka ini terbilang di atas rata-rata jumlah penonton pada umumnya. Di angka 1 juta penonton, sebuah film sudah dianggap memiliki pencapaian angka penonton yang tinggi. Fenomena ini memperlihatkan animo masyarakat semakin meningkat untuk menonton film-film nasional. Namun, jumlah penonton tidak selamanya menjadi ukuran keberhasilan sebuah film karena satu hal lagi yang terpenting adalah kualitas estetiknya.

     Perkembangan film nasional, bisa pula dilihat dari genre-genre populer yang masih didominasi oleh horor, komedi, roman, dan religi. Keempat genre ini menjadi genre yang paling sering diproduksi dan diminati oleh penonton walaupun genre-genre lain juga turut mewarnai, seperti biografi, aksi, dan drama. Genre horor rasanya adalah primadona yang tidak pernah ada matinya. Tahun lalu, fenomena film Danur hampir menjadikan film tersebut film horor terlaris, sebelum posisinya tergeser Pengabdi Setan yang kini menjadi film horor terlaris di Indonesia. Sama halnya dengan genre horor, genre roman remaja seakan merupakan sebuah genre wajib. Tahun ini film Dilan 1990 yang begitu populer sempat menjadi pembicaraan luas di masyarakat. Cerita tentang kisah dua orang remaja dalam latar sekolah SMA, masih menjadi sebuah formula ampuh mengikuti film Ada Apa dengan Cinta? (2002).

     Beranjak ke komedi, genre ini beberapa tahun terakhir didominasi oleh kemunculan para komika panggung yang beralih menjadi aktor/aktris maupun sutradaranya. Contoh Raditya Dika dan Ernest Prakasa yang beberapa tahun terakhir sangat aktif memproduksi film komedi. Genre religi juga tidak pernah absen di bioskop. Dimulai sejak Ayat-Ayat Cinta pada tahun 2007 muncul sebagai sebuah tonggak awal film religi yang bermunculan setelahnya. Walaupun saat ini tidak sebanyak beberapa tahun yang lalu, namun film religi masih terus eksis. Tidak jarang pula, jika genre religi digabungkan dengan roman untuk menggaet pasar.

     Selain genre populer, kemunculan franchise, seperti  sekuel, reboot dan remake menjadi satu formula baru untuk menggaet pasar. Beberapa franchise yang sukses adalah film reboot, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (2016 & 2017) dan Benyamin Biang Kerok (2017), serta remake film Pengabdi Setan (2017). Ke depan, saya memprediksi akan banyak film-film lawas Indonesia yang diproduksi ulang. Reboot atau remake film lawas, memiliki keuntungan tersendiri, yaitu memperkenalkan film-film zaman dulu kepada penonton era kini, namun dengan kemasan dan pendekatan yang baru. Seperti Joko Anwar yang mampu mengemas dengan pendekatan cerita dan sinematik yang baik dengan me-remake film Pengabdi Setan.  

     Dalam waktu dekat, film Wiro Sableng 212 yang diangkat dari novel dan serial TV populer juga akan rilis ke layar lebar. Kabarnya produksinya pun bekerja sama dengan Fox International Productions, anak perusahaan dari 20th Century Fox. Kabarnya pula, film  Ada apa dengan Cinta?  akan dibuat spin-off-nya dengan judul Milly dan Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) dengan sutradara Ernest Prakasa, yang direncanakan tayang bulan Desember tahun ini. Hal ini tentu sebuah strategi marketing untuk membidik fans penonton film Ada apa dengan Cinta?, serta untuk membangun sebuah franchise baru yang bisa jadi akan digemari pasar.

Baca Juga  Film tentang Wabah: World War Z

     Bagaimana dengan film non-mainstream? Beberapa tahun terakhir, banyak pula bermunculan film alternatif, seperti Ziarah (2016), Istirahatlah Kata-Kata (2016), Turah (2017), Sekala Niskala (2017), serta Marlina, Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Film ini lebih dikenal di jaringan festival dan cenderung memiliki tempo lambat serta sulit diapresiasi oleh penonton awam. Film-film tersebut walau dibuat secara Independen, namun ikut pula mewarnai perfilman nasional. Kabarnya pun, Turah menjadi wakil Indonesia untuk bersaing dalam ajang Academy Award (Best Foreign Language) tahun 2018, namun belum bisa bersaing.

Evaluasi terhadap Perfilman Nasional

     Bagaimana sebenarnya posisi perfilman nasional dalam percaturan film dunia? Walaupun beberapa film kita menang di beberapa festival internasional, namun posisi perfilman kita secara umum (mainstream) masih belum diperhitungkan dalam kancah internasional. Beberapa negara di Asia Tenggara (ASEAN) yang cukup diperhitungkan adalah Thailand yang beberapa filmnya terbilang mapan dan bahkan sudah dilirik Hollywood untuk di-remake. Dibandingkan dengan negara-negara Asia besar lainnya, seperti Jepang, Korea Selatan, China, Iran, tentu kita masih tertinggal jauh. Untuk bisa tembus ke ajang bergengsi sekelas Academy Award kita masih perlu berjuang dan masih harus belajar dari negara-negara Asia lainnya, seperti Iran yang mampu beberapa kali menang dalam kategori Best Foreign Language film.

     Secara kualitas, film kita masih perlu banyak pembenahan terutama pada aspek cerita. Dengan teknologi dan SDM yang kita miliki, agak berat untuk menyamai Hollywood maupun negara-negara besar Asia, macam Korea Selatan, India, dan Cina. Dengan mengolah cerita unik dengan menekankan sisi local wisdom atau kearifan lokal yang bersifat universal, serta alur cerita yang menarik, pasti sinema kita kelak akan diperhitungkan. Kekuatan lokalitas ini kemungkinan yang akan menarik perhatian perfilman dunia. Walau bukan contoh yang ideal, namun The Raid bisa menjadi tolak ukur bahwa kita bisa bersaing dengan film aksi barat dengan mengenalkan bela diri silat. Kita harus melakukan refleksi terhadap film-film nasional dan melakukan evaluasi secara objektif sehingga mampu melihat kelemahan dan kelebihannya. Untuk mengimbanginya, kritik film di Indonesia perlu digalakkan lebih masif lagi.

     Selain industri film, perfilman nasional digeliatkan pula oleh komunitas film yang banyak menjamur di kota-kota besar seluruh Indonesia, seperti Yogyakarta, Bandung, Makassar yang jumlahnya tidak sedikit. Komunitas film inilah yang juga menjadi salah satu pilar bagi industri perfilman Indonesia. Tidak jarang, nama-nama besar lahir dari komunitas film. Dalam komunitas film, semangat independen serta kebaruan untuk menghasilkan berbagai bentuk visual dalam medium film banyak bermunculan. Untuk itu, dukungan pemerintah melalui badan-badan perfilman perlu lebih digalakkan lagi untuk mendukung komunitas film, seperti Pusbang Film, BPI, dan Bekraf Bidang Perfilman. Ruang eksibisi alternatif tentu juga diperlukan untuk mendukung keberlangsungan film independen untuk bisa ditonton publik secara luas.

     Sebuah pekerjaan rumah besar yang terbengkalai adalah persoalan preservasi film nasional. Saat ini lembaga yang mengelola kearsipan film adalah lembaga swasta non-profit yang yang didukung pemerintah, yakni Sinematek Indonesia. Pemerintah sendiri terlihat belum secara maksimal melakukan pengelolaan terhadap sektor ini. Untuk menyelamatkan film-film lawas yang bernilai bagi sejarah bangsa ini tentu tidak murah. Untuk itu, diperlukan campur tangan pemerintah dengan dibantu oleh insan perfilman yang peduli untuk melakukan preservasi secara baik dan terencana.

     Akhir kata, sebagai refleksi Hari Film Nasional tahun ini. Walau dari sisi kuantitas perkembangan industri film kita terdapat kemajuan yang pesat, namun banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi dan ditingkatkan lagi oleh semua insan film, baik dari produksi, eksibisi, apresiasi, edukasi, maupun dukungan pemerintah. Kemajuan perfilman Indonesia bisa terlihat jika semua lini dalam perfilman nasional berkembang secara seimbang, dan tentu harapannya akan menghasilkan sebuah hasil maksimal. Selamat Hari Film Nasional dan semoga ke depan perfilman nasional akan semakin maju.

Artikel SebelumnyaReady Player One
Artikel Berikutnya#Teman Tapi Menikah
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.