Heart of Stone adalah film aksi spionase garapan Tom Harper yang kita kenal dengan seri Peaky Blinders dan War Peace. Film ini dibintangi Gal Gadot, Jamie Dornan, Alia Bhatt, Sophie Okonedo, dan Matthias Schweighöfer. Film berdurasi 123 menit ini baru saja dirilis platform Netflix semalam. Dengan bermodal bintangnya akankah film ini memberikan sebuah teroboson berarti untuk genrenya?
Rachel Stone (Gadot) adalah seorang agen operator MI:6 yang kini tengah mengemban misi rahasia bersama timnya. Dalam situasi terjepit, Stone akhirnya harus turun ke lapangan untuk membantu timnya. Namun siapa sangka, Stone ternyata adalah seorang agen dobel tangguh yang ternyata bekerja dengan pihak lain yang dijuluki The Charter. The Charter adalah sebuah organisasi lintas negara yang bekerja independen dengan agen-agen lapangan kelas satunya. Misi yang diemban oleh Stone dan rekan-rekan MI:6-nya rupanya adalah jebakan dari pihak lain yang ingin menjatuhkan The Charter serta menginginkan alat maha canggih yang dinamakan The Heart. Alat utama misi lapangan milik The Charter ini konon mampu mengontrol dan mengakses segala sesuatu yang ada di seluruh bumi.
Premis awalnya memang sangat menjanjikan melalui konsep agen dobel dalam sebuah biro agen besar. Namun begitu kisahnya menjejak ke babak kedua melalui kejutan demi kejutannya, alur plotnya beralih menjadi satu kisah klise yang sudah terlalu jamak bagi genrenya. Agak aneh juga, seorang agen dobel menggunakan nama yang sama dengan identitas aslinya, Rachel Stone. Bayangkan jika James Bond ternyata adalah agen dari agen biro lain yang juga kebetulan menggunakan nama yang sama. Ini tentu sebuah lelucon yang menggelikan. Sejak momen ini, kisahnya pun tak lagi punya taji dengan formalitasnya hanya menampilkan aksi-aksi gilanya yang sudah menjadi standar genrenya.
Seperti kelaziman genre spionase, setting eksotis disajikan secara memesona dari satu sekuen ke sekuen lainnya. Dari wilayah perbukitan bersalju yang dingin hingga ke gurun pasir yang panas. Aksi-aksinya juga tidak bisa dibilang buruk, sekalipun sekuen aksinya mirip dengan banyak film aksi sejenis seperti seri Bond maupun Mission Impossible. Dari aksi kejar mengejar mobil di dalam kota hingga terjun bebas di ketinggian. Satu hal yang membedakan dengan film-film lainnya, tentu saja agen protagonisnya yang dimainkan Gal Gadot. Walau ini bukan peran baru baginya, namun sang bintang memang memiliki karisma yang sulit tergantikan.
Heart of Stone memiliki potensi premis segar yang gagal dieksplorasi dengan memilih jalan aman, namun setidaknya aksi-aksinya menghibur melalui pesona sang bintang. Tidak salah jika film ini dikatakan versi inferior dari seri Bond atau M:I. Cek saja opening titelnya. Film ini semata memang menjual sang bintang. Setelah sukses fenomenal melalui sosok super Wonder Woman, Gadot memang sulit lepas dari sosok ini. Jika saja, naskah Heart of Stone lebih punya bobot hasilnya rasanya bakal berbeda. Seperti seri aksi rilisan Netflix lainnya, Extraction, tentu bukan hal yang mustahil film ini akan berlanjut kisahnya. Setidaknya, film ini punya kasting yang menjanjikan ke depannya di tengah dominasi agen tangguh pria yang menjadi trademark genrenya. Bagi fans sang bintang dan genrenya, film aksi ini tentu sayang untuk dilewatkan.