Hellboy (2019)
120 min|Action, Adventure, Fantasy|12 Apr 2019
5.2Rating: 5.2 / 10 from 95,978 usersMetascore: 31
Caught between the worlds of the supernatural and human, Hellboy battles an ancient sorceress bent on revenge.

Bagi saya, seperti belum terlalu lama, sejak Hellboy (2004) dan Hellboy II: The Golden Army (2008), dan kini film reboot-nya dirilis. Sang sineas maestro, Guillermo del Toro yang memberi sentuhan unik pada dua film sebelumnya, kini tak lagi terlibat. Lalu sang bintang sendiri, Ron Perlman yang seolah terlahir untuk peran Hellboy, tak mau lagi terlibat dalam sekuelnya jika del Toro tak ada di dalamnya. Lalu film reboot-nya mau menawarkan apa lagi selain sensasi sosok jagoan dari neraka ini?

Kisahnya jelas sudah tak asing bagi fans Hellboy. Ada penyihir jahat dari masa lalu bernama Nimue, yang bangkit kembali di era modern ini. Nimue berniat menguasai dunia dan setelah melihat sosok Hellboy, sang jagoan ternyata memiliki opsi untuk menjadi raja dunia atau memusnahkan sang penyihir. Tak ada yang istimewa lagi.

Singkat saja untuk resume film ini. Pertama. Semua fans lamanya pasti bakal kehilangan Ron Perlman yang kini sosok sang jagoan diperankan aktor David Harbour. Perlman yang karismatik sulit tergantikan oleh Harbour yang memang dipilih semata karena mirip dengan aktor aslinya, baik gesture, suara, serta fisik. Celotehan sang jagoan pun kini masih ada, namun tak lagi sekonyol dan se-cuek Perlman yang selalu menganggap apa saja seolah tak serius. Bahkan, kata-kata ikonik sang jagoan, “oh crap” kini hilang dalam film ini. Kedua. Kehilangan sang master mise_en_scene sekelas del Toro, tentu film reboot ini kehilangan kekuatan desain produksinya yang tak lagi seunik sebelumnya. Kostum unik yang di dua film sebelumnya terasa dominan kini tak lagi tampak, dan malah tergantikan banyak sosok CGI. Ketiga. Milla Jovovich ternyata lebih keren berperan sebagai antagonis ketimbang Alice di seri Resident Evil. Keempat adalah aspek editing. Editing?

Baca Juga  Night Teeth

Masalah terbesar film ini ketika saya menontonnya adalah guntingan sensor. Sangat menganggu sekali. Banyak aksi brutal sejak segmen awal hingga akhir, dipotong sama brutalnya. Baru beberapa menit film dimulai, rasanya saya sudah ingin keluar teater karena saking tidak nyamannya. Tahu begini, saya tak akan bakal menonton. Sepanjang filmnya, studio yang terisi setengah kapasitasnya, dari kanan kiri terdengar makian kasar penonton ketika potongan sensor terjadi. Mengapa ini bisa terjadi? Satu hal yang jelas saya merasa tertipu. Film sebelum ini yang saya tonton, Hotel Mumbai (rating sama) yang jelas jauh lebih brutal (jika memang ada potongan), namun saya tak merasakan ada kejanggalan potongan gambar yang berarti. Mengapa bisa berbeda?

Hellboy tak lagi bisa dibedakan antara potongan sensor atau editing filmnya yang buruk. Mengapa filmnya dirilis di bioskop tanah air jika kelak hanya menjadi korban potongan sensor yang demikian brutal? Lantas apa gunanya pula diberi rating “Dewasa” (D17+)? Seingat saya, rasanya baru kali ini menonton film sedemikian kecewa karena guntingan sensor. Seperti film thriller Overlord (rating Dewasa pula) juga ada beberapa guntingan yang kasar tapi tak sebanyak film ini. Saya hanya ingin menyarankan bagi yang ingin menonton filmnya, lebih baik menunggu versi Home Video-nya. Tak ada poin bukan karena filmnya, namun akibat guntingan sensor yang menghancurkan filmnya. Oh crap!

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Artikel SebelumnyaHotel Mumbai
Artikel BerikutnyaCaptive State
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.