hidayah

Lagi-lagi muncul ide cerita tentang pengusiran setan dan persekutuan dengan iblis setelah kita dikenyangkan oleh banyak sekali filmnya. Hidayah yang dikatakan mengadaptasi versi sinetron diarahkan oleh sutradara debutan, Dedy Kopola dengan bantuan Monty Tiwa. Skenario horor supernatural ini digarap oleh Baskoro Adi Wuryanto dengan spesialisasi horornya yang tidak seberapa, walau sering. Produksinya sendiri digawangi Pichouse Films yang notabene menangani semesta Danur. Bersama Clockwork Films, Hidayah diperankan nama-nama nomor dua di kancah perfilman, yaitu Ajil Ditto, Givina Lukita, Alif Joerg, Unique Priscilla, Khiva Iskak, dan Joshua Pandelaki. Mempertimbangkan adanya nama Monty Tiwa, seperti apa hasil produksi Pichouse yang kali ini?

“Pasti ada sesuatu di balik ini semua.”

Mantan narapidana bernama Bahri menjalani satu-satunya pekerjaan yang dapat menerimanya di bengkel mobil. Namun kehidupan tenang Bahri (Ditto) didatangi oleh teman lamanya saat masih di pesantren, Hasan (Alif). Hasan bertamu bukan untuk membawa kabar baik. Rupanya, sedang terjadi keganjilan menyeramkan di kampung mereka, Mekarwangi. Salah satu warga desa yang pernah menjadi cinta masa lalu Bahri, Ratna (Givina) dituding sebagai penyebab Mekarwangi “dikutuk”. Situasi yang dilematis bagi Bahri. Pulang dan menjumpai segala masa lalunya kembali, atau membiarkan semuanya terjadi.

Hidayah adalah film horor problematik ke sekian di antara tumpukan remah-remah sejenisnya. Mudah sekali menemukan yang semacam ini, baik dari segi keseluruhan aspek filmis, kesamaan ide, maupun pengembangan cerita. Contoh paling dekat yang nyaris sama persis (hanya beda teramat tipis) dengan Hidayah ialah Qodrat. Bahkan garis besar cerita, pemicu keberadaan iblis atau setan, serta relasi tokoh utama dengan sang hantu dan cara mengalahkannya pun persis Qodrat. Hanya saja bujet Hidayah lebih kecil, yang sekaligus memengaruhi pemilihan para pemainnya.

Persoalan Hidayah pun secara sporadis merembet ke segala lini. Masih tidak terbayangkan seorang Monty Tiwa dengan kemampuannya yang bisa dikatakan rata-rata lumayan baik, mengarahkan film horor seperti Hidayah. Terlepas dari apapun pesan moral keagamaan dalam ceritanya, Monty mestinya masih bisa bermain-main labih apik lagi sebagai sutradara. Sayang, tampaknya perannya pun tidaklah berpengaruh besar terhadap debut Dedy Kopola. Sekarang kita tahu, siapa sutradara utama Hidayah.

Sebelum melangkah lebih jauh ke perkara sinematik, penggarapan skenarionya saja sudah mengandung banyak lubang plot. Misalnya, keterkaitan cuaca yang terus-menerus dilanda hujan deras dengan kondisi salah seorang tokoh. Warga yang sanggup menyajikan teh atau kopi dalam gelas jenis kaca, tetapi payung saja tidak punya. Pengaruh pesantren terhadap keganjilan di desa yang teramat minim, seakan tidak ada satupun guru di sana. Padahal jelas sekali pesantren tersebut berkegiatan aktif. Bahkan lebih hidup ketimbang kondisi pesantren Qodrat. Masih ada perkara perubahan lokasi makam dan lain sebagainya. Bahkan masalah yang dihadapi para tokoh seolah saling terpisah. Belum lagi soal logika denah desa, antara letak perumahan warga, pesantren, titik kedatangan bus lokal, dengan letak makam.

Baca Juga  Arini

Kendati demikian, masih ada upaya untuk setidaknya “membantu” penceritaan Hidayah lewat selipan sebuah plot twist. Kita anggap saja ini sebagai salah satu bentuk intervensi Monty terhadap kekacauan skenarionya. Meskipun, apa gunanya satu plot twist kecil yang mengakhiri cerita panjang dengan luka di sana-sini? Ibarat menangani luka lecet di sekujur badan, tetapi hanya dengan setetes obat merah. Tampak, tetapi tidak banyak berdampak.

Obat merah yang lainnya –bila ingin berusaha dicari-cari—boleh jadi adalah upaya dari sang penata rias, Aktris Handradjasa. Lagipula dia sudah sering menggawangi tata rias film-film lain dengan bujet maupun production design lebih besar dari Hidayah. Walau memang dalam Hidayah sekalipun, aspek tata rias ini tidaklah amat menonjol. Hanya lebih mending daripada banyak aspek filmis lainnya. Bahkan cara-cara pengambilan gambar dalam Hidayah pun sangat biasa. Tidak ada gejolak shotshot horor. Malahan, rasanya seperti menonton sinetron hidayah, hanya “sedikit” lebih filmis saja.”

Hidayah membariskan serangkaian panjang kelemahannya, sampai-sampai keberadaan titik-titik bantuan pun nyaris tak berfungsi. Jangan tanya ada nama-nama siapa saja selain Monty Tiwa. Tampaknya Hidayah adalah proyek coba-coba belaka untuk mengambil momentum kepopuleran sinetron Hidayah. Anggapannya akan bernasib sama dengan KKN, tetapi pada hari pertamanya saja sepi penonton. Adapun unsur lokalitas Bahasa Sunda dan sejumlah bacaan penting, tetapi teks bantuan untuk penonton saja tidak muncul. Sudah hambar dari tahap ide cerita, pengemasannya juga tidak menunjukkan banyak kreasi.

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaTentang Howard Shore dan Karya Masterpiece—nya di Trilogi The Lord of the Rings
Artikel BerikutnyaThe Day Before the Wedding
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.